Selasa, 10 Februari 2009

Panggil aku, Jack Separo

Satu dua kawanku memanggilku jack, dan kaki kiriku cuma separo (bahkan kurang!!!). Jadi baiklah, ini menjadi tanda hadirku di jagad yang dibangun dari sistem biner ini. Tentu saja semua orang tahu bahwa nama ini memba-memba nahkoda-kapal-bajak-laut (“lanun yang paling teruk”) Jack Sparrow. Dia yang mati-matian mengejar keabadian, tapi demi kawan, rela juga melepas kesempatan itu.

Dalam adegan terakhir Pirates of Carribean- At World’s End ditampilkan Jack Sparrow yang sedang mengamati sebuah peta yang menunjuk posisi dari aqua de vida. Konon dari air kehidupan (arab: maul hayat) inilah, Bagindha Kilir (Nabi Khidlir) mendapatkan umur panjang sehingga mampu melintasi milenia demi milenia, menjadi pembimbing spiritualitas hampir di semua era, hingga konon sempat membimbing Musa, menghadiri pemakaman Muhammad dan juga berjumpa dengan Ibnu ‘Arabi.

Aku teringat bahwa dalam tradisi Jawa air kehidupan ini memiliki padanannya, yakni tirta perwita. Namun alih-alih keabadian, orang yang mereguknya akan mendapatkan kesejatian diri. Kisah pewayangan yang terkenal dalam tema ini tentu saja adalah kisah Bratasena yang diminta gurunya Resi Durna untuk mencari kayugung susuhing angin tirta perwita sari yang mengantarnya pada perjumpaan dengan Dewa Ruci yang tidak lain adalah diri-pribadinya sendiri. Hanya kepada Dewa Ruci yang berbentuk Bratasena-mini inilah, Bratasena berbicara dengan bahasa krama inggil, sementara kepada segenap isi dunia ia memili menggunakan bahasa ngoko yang egaliter.

Memba-memba Jack Sparrow? Juga Bima Suci? Muluk-muluk kiranya. Tapi aku adalah manusia, yang mungkin selalu terganggu dengan kefanaanya sehingga menyukai tema-tema keabadian, dan yang selalu berlumur ketidakmurnian sehingga menyukai tema-tema kesejatian diri.

Sampai-sampai terkadang lupa bahwa manusia hanyalah “Ada-di-sana-menuju-kematian”.