Jumat, 10 Mei 2019

testing

testing
 testing apakah save bisa


setelah revert to draft terus muncul save.

nah, ini mau saya save
setelah revert to draft, kalau tidak di-publish ya tidak muncul.

ini baru kucoba

Rabu, 29 Oktober 2014

Spiritualitas Sekuler


Gambar diambil dari http://dodysaurus.deviantart.com

Akhirnya perjalanan ini menghantar Bratasena pada perjumpaan dengan Dewa Ruci yang tak lain adalah diri-sejati dari Sang Bratasena sendiri. 
Dalam pencapaian kesejatian diri ini tidak ada yang dirasakan olehnya 
selain kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya.



Judul        : Waking Up: A Guide to Spirituality Without Religion
Penulis     : Sam Harris
Penerbit   : Simon & Schuster, New York
Cetakan    : I, September 2014
Tebal        : x + 245
ISBN        : 978-1-4767-7772-6


Secara umum perasaan sepi adalah sesuatu yang ingin dihindari dalam hidup kita. Jika kita amati, banyak kegiatan yang kita lakukan untuk sekedar membunuh sepi. Namun demikian, terkadang secara sengaja kita memilih untuk menyendiri dan menyepi untuk intim dengan diri kita sendiri. Bahkan, beberapa di antara kita secara rutin, walaupun cuma beberapa menit dalam sehari, memasuki keheningan pikiran melalui meditasi yang secara sistematis menggunakan metode tertentu untuk menyelami pikiran sendiri. Dari situ kita menyadari bahwa spiritualitas sebenarnya adalah ujung dari spektrum pilihan yang tersedia bagi kita dalam menggunakan pikiran.

Walau banyak buku yang membahas spiritualitas, buku Waking Up  karya Sam Harris ini membahas spiritualitas dengan cara yang berbeda dengan buku spiritualitas manapun. Dikenal sebagai pengkritik agama sejak menerbitkan buku The End of Faith pada tahun 2004, Sam Harris adalah seorang yang kritis terhadap kepercayaan yang tidak bisa dipertahankan secara ilmiah. Namun demikian, berbeda dengan para pengkritik agama secara umum ia sangat terbuka dengan spiritualitas.

The End of Faith  sendiri walaupun sangat tajam menunjukkan bahaya dari kepercayaan keagamaan, dalam buku tersebut Sam Harris juga memberikan apresiasinya terhadap laku spiritual. Sepuluh tahun sejak The End of Faith, buku Waking Up yang terbit di bulan September tahun ini adalah upaya Sam Harris untuk menunjukkan bahwa walaupun laku spiritual umumnya berkelindan dengan praktek keagamaan, spiritualitas sepenuhnya bersifat sekuler dan bisa dijalani tanpa perlu percaya terhadap gagasan keagamaan apapun.

Ada banyak cara mendefinisikan spiritualitas. Sam Harris  memulai dengan upaya manusia untuk mendapatkan kebahagiaan. Seseorang memulai kehidupan spiritual ketika orang tersebut mulai tidak puas dengan kebahagiaan yang diperoleh dari pemenuhan hasrat yang dirasakan sebagai kebahagiaan yang tidak stabil dan mudah lenyap. Lalu ia mulai mencari jawaban atas pertanyaan, apakah kita bisa berbahagia walau apapun yang terjadi?  Para mistikus dari berbagai zaman dan tradisi spiritual berpendapat bahwa pengalaman kebahagiaan tak bersyarat semacam itu bisa dialami pada saat yang sama ketika meraka mengalami lenyapnya “Sang Aku” sebagai subyek.

Menurut Sam Harris, spiritualitas terkait dengan gagasan bahwa apa yang kita sebut sebagai Sang Aku, yang kita rasakan sebagai subyek yang mengalami segala hal yang terjadi dalam benak kita berupa pikiran, perasaan dan pengalaman inderawi, adalah sebuah ilusi. Laku spiritual  dengan demikian adalah upaya memperdalam pemahaman dan pengalaman bahwa diri (self) adalah sebuah ilusi. Dengan demikian pencerahan (enlightment) tidak lain adalah pengalaman hilangnya diri yang oleh pelaku spiritual selalu diupayakan untuk dialami kembali dan dengan durasi yang makin panjang.

Di dalam The End of Faith, Sam Harris menduga  bahwa perasaan adanya diri sebagai subyek merupakan hasil representasi otak dari aktifitas representasi itu sendiri, misalnya aktifitas otak dalam melihat suatu obyek melahirkan subyek yang melihat. Aktifitas yang terjadi di dalam otak ini bisa dipandang sebagai sebuah proses dan sebagaimana proses pada umumnya aktifitas tersebut bisa diinterupsi. Tidak aneh jika seseorang  bisa merasakan hilangnya diri yang biasanya disebut sebagai pengalaman spiritual. Salah satu sumbangsih dari buku ini adalah keberanian Sam Harris untuk memberikan penilaian terhadap berbagai tradisi spiritual. Menurut Sam Harris hanya Buddhisme dan Advaita Vedanta yang secara jelas menyatakan bahwa laku spiritual adalah upaya membuka tabir ilusi adanya diri melalui pencurahan perhatian pada momen saat ini.

Dalam pencurahan perhatian pada momen saat ini tersebut, adalah kesadaran (consciousness) yang menjadi obyek investigasi. Kesadaran dalam hal ini adalah kondisi di mana pikiran, emosi, dan perasaan muncul. Namun hingga sekarang dunia ilmiah masih belum memahami apa itu kesadaran atau bagaimana kesadaran muncul pada makhluk hidup. Setidaknya kita memiliki dugaan kuat bahwa kesadaran muncul dari pengoraganisasian diri dari atom-atom yang tak sadar. Namun bagaimana pengorganisasian itu terjadi merupakan hal yang masih misterius.

Kesadaran juga bersifat subyektif, paling tidak isi dari kesadaran bersifat subyektif. Jika kita mau bertukar tempat dengan kelelawar, kemampuan inderawi kelelawar yang mampu melakukan ekolokasi dengan gelombang suara membuat dunia nampak berbeda dengan kesadaran kita sebagai manusia. Itu dari sudut pandang pengalaman inderawi saja, belum termasuk pengalaman emosional dan intelektual yang pastinya juga berbeda.  

Penelitian ilmiah hingga sekarang hanya dilakukan terhadap isi dari kesadaran saja, sementara penelitian langsung terhadap kesadaran nampaknya hanya bisa dilakukan oleh kesadaran itu sendiri. Dari sini spiritualitas yang tidak lain adalah investigasi terhadap kesadaran secara langsung merupakan hal yang tak ternilai dari upaya untuk memahami sifat dasar dari pikiran (mind).

Dalam buku ini Sam Harris juga menyampaikan betapa pengetahuan ilmiah yang kita miliki saat ini belum bisa bisa mengurai teka-teki terpenting dari hidup kita, yaitu  diri/ Sang Aku. Bersama dengan pikiran, perasaan dan pengalaman inderawi yang muncul di dalam kesadaran, Sang Aku juga muncul di dalam kesadaran yang kita rasakan sebagai subyek dari apapun yang muncul di dalam kesadaran. Sam Harris mengamini apa yang dialami oleh para mistikus bahwa kesadaran kita pada dasarnya tanpa subyek, dengan kata lain Sang Aku yang muncul di dalam kesadaran hanyalah ilusi.  

Sebagaimana ilusi yang lain, ilusi Sang Aku akan lenyap jika diamati secara ketat dan mendalam. Namun, berbeda dengan penyelidikan ilmiah yang lain, penyelidikan terhadap lenyapnya Sang Aku tidak bisa tidak harus kita lakukan sendiri di dalam laboratorium dunia batin kita sendiri. Menariknya, sebagaimana titik buta (blind spot) dalam penglihatan kita dan sebagaimana ilusi optik yang biasa kita alami setiap hari, ilusi adanya Sang Aku juga berada di depan mata tetapi hanya bisa disadari saat pengalaman tersebut diamati dan diselidiki secara ketat.

Dalam laku spiritual, pengalaman lenyapnya diri/Sang Aku umumnya diupayakan untuk diraih melalui meditasi. Melalui meditasi orang mengamati dan menjadi familiar dengan sifat dasar dari pikiran kita yang gemar berkelana dari satu pikiran ke pikiran yang lain. Penelitian menunjukkan bahwa pikiran yang berkelana tanpa arah lebih dekat kepada ketidakbahagiaan karena mensimulasikan masa lalu dan masa depan. Melalui meditasi penempuh jalan spiritual berusaha hadir pada momen saat ini yang merupakan realitas sebenarnya dari pengalaman-sadar kita.  Hadir pada momen saat ini membuat kita lebih bahagia kerena dengan demikian kita tidak hidup di masa lalu yang sudah berlalu dan masa depan yang belum datang.  

Untuk para pemula, Sam Harris menyarankan vipassana sebagai metode meditasi. Kualitas pikiran yang hendak dicapai melalui vipassana adalah mindfulness yaitu kondisi pikiran yang jernih dan hanya memperhatikan apa yang menjadi isi kesadaran tanpa memberikan penilaian, baik isi kesadaran tersebut menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Terdapat paradoks dalam spiritualitas. Tujuan dari spiritualitas adalah terbebas dari ilusi diri, tetapi untuk mencapainya nampaknya seseorang justru harus memperkuat ikatan dengan momen saat ini. Sam Harris berusaha mengurai paradoks ini berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang diperolehnya dalam perjalanan spiritual yang ditempuhnya.

Sebagai seorang meditator vipassana selama bertahun-tahun ia memperoleh banyak manfaat dari laku spiritual yang dia lakukan, namun demikian pengalaman hilangnya diri/Sang Aku hanya sekejap dirasakan dan hanya saat meditasi sangat mendalam. Sam Harris saat itu berpikir bahwa pengalaman itu tidak mungkin dirasakan dalam momen biasa di luar meditasi. Praktek meditasi yang biasa dilakukannya saat itu adalah jenis meditasi dualistik di mana sang meditator masih menggunakan Sang Aku sebagai subyek untuk mengamati kesadaran. Perjumpaan dengan Papaji murid dari Ramana Maharshi membuka mata Sam Harris terhadap pendekatan langsung nondualistik di mana ketiadaan diri dirasakan secara langsung. Papaji bahkan bisa dikatakan tidak mengajarkan meditasi karena baginya pengalaman ketiadaan diri bisa dialami langsung dan bisa dialami di luar meditasi.

Pelabuhan berikutnya yang disinggahi Sam Harris adalah tradisi Dzogchen a la Buddhisme Tibet yang serupa dengan pendekatan Papaji yang nondualistik.  Tradisi Dzogchen biasa disebut sebagai membalik tujuan menjadi jalan di mana lenyapnya diri yang biasanya menjadi tujuan meditasi dibalik menjadi jalan meditasi. Dalam Dzogchen, sang guru menunjukkan bagaimana pengalaman lenyapnya diri dialami dan kemudian sang murid berusaha untuk mengalaminya kembali. Berbeda dengan pendekatan Papaji-Ramana, pendekatan Dzogchen masih mempersyaratkan penempuh jalan spiritual untuk bermeditasi mindfullness dualistik sebagai familiarisasi atas sifat dasar kesadaran dan sebagai persiapan menuju meditasi nondualistik.

Sebagai sebuah buku panduan spiritual, terdapat bagian dalam buku ini di mana Sam Harris  memandu pembaca dalam mengamati apa saja yang muncul secara bergantian di dalam kesadaran. Pembaca didorong untuk memahami bahwa pada dasarnya isi dari kesadaran adalah tanpa subyek Sang Aku, bahwa  jika diamati secara mendalam kesadaran tidak terasa seperti Sang Aku. Sam Harris cenderung memilih instruksi spiritual yang sederhana dan jelas dan tidak segan memberikan kritik kepada tradisi Zen yang seringkali terasa kabur.

Salah satu instruksi spiritual yang sederhana dan jelas untuk memperoleh pengalaman ketiadaan diri diperoleh oleh Sam Harris dari Douglas Harding, seseorang yang memiliki posisi penting bagi kaum New Age. Prakteknya sederhana, yakni saat melihat sekeliling kita mencari kepala kita sendiri atau melihat sekeliling dengan membayangkan bahwa kita tidak memiliki kepala. Sam Harris meminta kita untuk tidak berjuang keras dalam latihan ini karena pengalaman ketiadaan kepala tidak berada jauh di dalam kesadaran sehingga memerlukan meditasi yang mendalam tetapi berada di permukaan kesadaran. Instruksi spiritual yang sederhana dan jelas seperti itu menurut Sam Harris lebih efektif daripada instruksi yang seringkali kabur dalam beberapa tradisi spiritual, misalnya dalam tradisi Zen.

Bagian terakhir sebelum penutup digunakan oleh Sam Harris untuk membahas beberapa isu di seputar spiritualitas. Misalnya, hubungan antara murid dan guru di mana seringkali terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh para guru spiritual. Satu yang pasti adalah bahwa walaupun seseorang telah mengalami pencerahan, dia tetap manusia biasa yang bisa melanggar batasan moral.

Sam Harris juga membahas peran drugs dalam kehidupan spiritual. Salah satu yang membuat Sam Harris menyadari bahwa kesadaran bisa mengalami hal luar biasa adalah pengalaman penggunaan Ekstasi (MDMA) pada saat usianya baru enam belas tahun. Cinta tanpa batas dan tanpa syarat yang dialami saat menggunakan Ekstasi membuat Sam Harris menyadari bahwa cinta, welas asih dan kebahagiaan atas kebahagiaan orang lain merupakan sebuah pengalaman yang mungkin untuk dialami. Namun demikian, penggunaan drugs oleh Sam Harris dianggap tidak bisa menggantikan laku spiritual karena sifatnya yang tak terkendali.

Sebagai semacam memoar spiritual buku ini memperkuat sisi Sam Harris sebagai sosok yang selalu membela penalaran ilmiah dengan melakukan penyelidikan yang jujur. Sekularisasi atas tradisi spiritual yang dilakukan Sam Harris di dalam buku ini merupakan sumbangsih yang penting bagi kita yang menginginkan kedamaian batin tetapi ragu-ragu untuk menempuh jalan spiritual karena terganggu dengan gagasan metafisis yang umumnya mengiringi tradisi spiritual.

Di sisi lain walaupun kadang spiritualitas oleh pelakunya dijadikan pelarian, pada prinsipnya spiritualitas bukan ditujukan sebagai pelarian dari kenyataan hidup yang dirasa menyesakkan atau dari upaya untuk membawa dunia menuju keadaan yang lebih baik. Adalah mulia berikhtiar untuk menciptakan dunia yang lebih baik, namun seringkali ketidakpuasan dalam proses ikhitiar tersebut membuat kita cukup menderita. Dalam buku Waking Up ini Sam Harris mencoba meyakinkan kita bahwa spiritualitas sekuler bisa membantu kita memperbaiki sikap batin dalam kehidupan pribadi atau sosial. Membaca buku 245 halaman ini membuat kita yakin bahwa kedamaian batin itu ada dan jalan sekuler untuk mencapainya pun tersedia.

Kamis, 26 Juni 2014

Artifisial 1, Alamiah 0

Siapa bilang yang alamiah lebih baik daripada yang artifisial? Saat minum ASI langsung dari ibunya, anakku Ale kadang tersedak karena aliran ASI terlalu kencang. Seharian kemarin Ale ditinggal ibunya dan meminum ASI dari dot, dia tidak pernah tersedak karena dot jaman sekarang sudah diberi perangkat untuk mengendalikan aliran ASI. Yang artifisial, dalam kasus ini, lebih baik daripada yang dirancang oleh alam.

Alam hanya punya metode trial-error. Percobaan dengan variasi, kemudian yang lebih buruk disingkirkan. Alam tidak benar-benar mendesain, alam hanya melakukan seleksi atas variasi. Dan tidak seperti manusia, saat merancang alam hanya berbekal keadaan terkini. Merancang dari nol atau memodifikasi secara radikal adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh alam. Jika manusia dirancang dari nol, tentu manusia tidak dirancang untuk mudah tersedak yang dalam beberapa kasus berakibat fatal. Manusia bukan hasil rancangan yang sempurna.


Berbeda dengan umumnya dipercaya, sesungguhnya natur manusia lebih banyak mengalami tekanan dari kultur yang manusia ciptakan sendiri. Jika semakin banyak ayah yang kontak dengan bayinya, varian laki-laki berpayudara akan memiliki keuntungan komparatif dibandingkan normalnya laki-laki saat ini. Lalu kekuatan alam yang bernama seleksi akan lebih memihak kepada laki-laki berpayudara dan dalam beberapa generasi akan kita dapati laBerbeda dengan umumnya dipercaya, sesungguhnya natur manusia lebih banyak mengalami tekanan dari kultur yang manusia ciptakan sendiri. Jika semakin banyak ayah yang kontak dengan bayinya, varian laki-laki berpayudara akan memiliki keuntungan komparatif dibandingkan normalnya laki-laki saat ini. Lalu kekuatan alam yang bernama seleksi akan lebih memihak kepada laki-laki berpayudara dan dalam beberapa generasi akan kita dapati laki-laki menyusui anaknya.

Minggu, 22 Juni 2014

Melewati atau tidak melewati pikiran

Siang tadi saat berbincang dengan teman-teman kantor tanganku melipat-lipat kertas struk belanjaan. Tiba-tiba saja di tanganku sudah terwujud sebuah perahu kertas. Sudah berkali-kali aku berusaha membuatkan perahu kertas untuk Janet, qurrata a'yun, tetapi selalu gagal. Aku benar-benar sudah lupa algoritma membuat perahu kertas, dan tanpa sadar siang tadi aku membuatnya.

Kejadian yang aneh juga pernah terjadi sewaktu usiaku belum memasuki dua digit. Saat itu aku berkunjung ke rumah teman dan melihat sebuah holahop dan langsung memainkannya. Sang tuan rumah menyatakan keheranannya dengan menyampaikan bahwa memainkan holahop itu tidak mudah. Dia lebih heran lagi saat tahu bahwa itu pertama kalinya aku memainkan holahop. Sialnya, ucapan sang tuan rumah adalah kutukan bagiku, aku tak bisa memainkan holahop lagi sejak itu. Di Jogja aku punya sebuah holahop yang terbuat dari rotan yang rencananya kugunakan untuk mengurangi lemak di pinggangku. Hingga sekarang aku tak bisa memainkannya.

Beberapa hal memang [lebih baik] tidak melewati pikiran.


Tetapi beberapa hal lebih baik melalui pikiran. Dengan reverse engineering, perahu kertas di tangan bisa kuurut balik sehingga aku sekarang bisa membuat kembali perahu kertas. Kali ini terjadi dengan penuh kesadaran.

Jumat, 06 Desember 2013

Almarhum Bapak Mertua dan Diogenes


Kemarin bapak mertuaku meninggal pada usia 82 tahun. Beliau terlahir dengan nama Sanusi; memberi nama tunggal adalah sebuah kelaziman di zaman itu untuk orang biasa. Sejauh yang aku kenal, beliau adalah pensiunan PNS yang jujur dan sangat menyayangi anak dan cucunya. Di samping itu beliau sebagai lulusan IAIN juga memiliki pandangan yang luas tidak hanya dalam agama tetapi juga filsafat, dan usia tidak menumpulkan ketajaman beliau dalam berfikir.  Di setiap pertemuan keluarga besar Bani Masyhud, sebagai yang dituakan Bapak sering diminta untuk memberikan wejangan. Pernah suatu ketika dalam acara rutin tiap lebaran tersebut beliau menceritakan kisah dialog antara Diogenes dengan Aleksander Agung yang akan aku kisahkan lagi nanti di sini. Tetapi terlebih dulu aku akan menyinggung hal lain yang menurutku merupakan sebuah kenangan yang manis.

Tidak sering tetapi beberapa kali aku dan Bapak berdiskusi hingga larut malam. Sekarang aku masih mengenang bagaimana aku bersama istriku terlambat menikmati malam pertama karena aku terlalu asik berdiskusi dengan beliau di mana salah satunya adalah sebuah persoalan fikih. Waktu itu kami mendiskusikan kenajisan anjing yang umum dianut oleh muslim Indonesia yang sebagian besar bermadzhab Syafi'i. Matan (redaksi) dari hadist yang menjadi dalilnya sendiri sama sekali tidak menyinggung isu kenajisan, bahkan hanya berbicara tentang wadah air. Di sana hanya ada perintah agar mencuci wadah air yang airnya diminum oleh anjing sebanyak tujuh kali di mana salah satunya dengan tanah. Tidak heran jika Imam Malik, guru Imam Syafi'i dalam hadits, justru tidak mengaitkannya dengan ibadah atau najis tidaknya air liur anjing, dan menganggapnya sebagai perintah terkait kebersihan. Di ujung diskusi dengan Bapak aku tersadar hari sudah larut malam. Aku bersyukur waktu itu pengantinku masih sabar menunggu.

Berikut ini adalah dialog antara Diogenes dengan Aleksander Agung yang pernah diceritakan oleh Bapak. Sebelumnya perlu disampaikan bahwa Diogenes adalah filsuf yang hidup di dalam tong besar dan merasa cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Saat Aleksander Agung datang Diogenes bertanya apa yang sedang direncanakan oleh Sang Raja, lalu Aleksander menjawab bahwa ia akan menaklukkan Yunani. Lalu apa lagi, tanya Diogenes. Aleksander menjawab bahwa dia berencana untuk menaklukkan belahan dunia bagian timur hingga ke India. Diagones bertanya lagi, setelah itu apa? Aleksander menjawab bahwa setelah menaklukkan dunia dia bisa bersantai dan menikmati diri sendiri. Merespon hal tersebut Diogenes beretorika: mengapa harus repot-repot melakukan penaklukan terlebih dahulu dan tidak sekarang saja memilih untuk bersantai dan menikmati diri sendiri? Aleksander termangu, kemudian ia mengakui kebijaksanaan Diogenes dan, sebagai imbalannya, khas seorang raja yang agung Aleksander mempersilakan Diogenes untuk mengajukan permintaan. Diogenes hanya meminta Aleksander yang berdiri di hadapannya untuk sedikit bergeser karena tanpa sadar Aleksander sedang menghalangi Diogenes dari sinar matahari. Saat didatangi oleh Aleksander, sebenarnya Diogenes sedang berjemur.


Kebenaran dan kakuratan kisah tersebut memang dipertanyakan, dan sebenarnya hampir semua anekdot dibuat bukan untuk kebenaran sejarah tetapi untuk menciptakan sebuah gambaran, misalnya tentang kontrasnya pemikiran atau tentang pilihan-pilihan hidup yang sulit. Aleksander sendiri pada akhirnya berhasil  melakukan penaklukan hingga ke Persia walau hanya mencicipi sebagian India Utara. Di dalam Al Quran ada kisah tentang Dzulqarnain yang secara harfiah berarti 'dia yang memiliki timur dan barat' yang oleh banyak ahli tafsir ditafsirkan sebagai Aleksander. Secara koinsiden Aleksander memiliki daerah kekuasaan yang luas yang membentang dari barat ke timur. Mungkin saja benar bahwa yang dimaksud dengan Dzulqarnain adalah Aleksander. Terkait timur dan barat, dia sungguh telah berhasil mencapai apa yang dia inginkan.

Anekdot tersebut berbicara tentang ragam sudut pandang tentang kebahagiaan. Pada diri Aleksander kita menemukan diri kita yang berbahagia dengan pencapaian-pencapaian kita. Kita merencanakan, menempuh jalan untuk mencapainya, lalu merayakannya setelah semuanya terselesaikan. Dalam banyak hal kita menjadikan cita-cita kita dan upaya untuk mencapainya sebagai bagian dari jati diri yang, entah keseluruhan atau sebagian, merupakan ajang pembuktian tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. Tidak jarang keadaan sangat berbalik di mana apa yang kita lakukan bertentangan dengan yang kita cita-citakan. Hal tersebut tak terhindarkan saat kita dihadapkan dengan pragmatisme pemenuhan kebutuhan hidup, sebagaimana muncul dalam ungkapan "Aku membenci pekerjaan ini, tetapi gajinya bagus". Tentu kebahagiaan maksimum bisa kita peroleh jika pekerjaan kita adalah pertemuan dari idealisme penemuan jati diri dengan pragmatisme pemenuhan kebutuhan hidup. Di sini walaupun berposisi seratus delapan puluh derajat dengan Marxisme aku menyetujui pendapat Marx saat mengatakan bahwa semestinya manusia tidak terasing dengan apa yang dilakukannya.

Ada setidaknya tiga hal dalam hidup yang kita manusia memberikan apresiasi, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Jika kita berbicara tentang kebahagiaan, kita juga tidak bisa melepaskan diri dari hal ihwal memproduksi dan mengkonsumsi ketiga hal tersebut. Setelah data eksperimen cukup membuktikan keberadaan partikel Higgs Boson yang secara matematis sudah diramalkan keberadaanya, kita ikut menyambutnya dengan gembira. Walau kita tidak begitu paham mekanisme Higgs dalam spontaneous symmetry breaking, kita berbahagia saat umat manusia setapak lebih maju dalam hal pengetahuan asal muasal massa yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh partikel-partikel subatomik. Hal tersebut adalah semata karena kita adalah makhluk yang secara emosional berbahagia saat mengkonsumsi pengetahuan dan kebenaran.

Dalam bebagai isu moral yang selalu tidak mudah untuk diambil keputusan kita mengerahkan seluruh kemampuan kita sebagai makhluk-konsumen-kebaikan untuk memberikan sikap yang terbaik. Dalam menghadapinya kita menimbang segala kebaikan yang diperoleh oleh individu dan masyarakat terkait trade off dari sebuah keputusan moral. Adalah menarik bahwa memikirkan pilihan moral sebagai bagian kegiatan konsumsi kebaikan sangat membutuhkan bantuan dari sisi lain kecenderungan kita dalam mengkonsumsi kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dalam kebenaran dan kebahagiaan dalam kebaikan tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan.

Di sisi lain, kebahagiaan estetis dalam konsumsi keindahan adalah yang paling banyak kita lakukan, dari mulai menikmati kebersamaan dengan kekasih, menonton film, pergi ke pertunjukan teater, membaca karya sastra, mengapresiasi hasil budi dan daya manusia di museum, menikmati pemandangan, mendengarkan musik, hingga hal-hal lain yang tak terkira jumlahnya. Tidak hanya kesenangan seperti itu, bahkan kebenaran ilmiah pun tidak terlepas dari unsur keindahan, misalnya keindahan simetri dan ketika simetri mengalami breaking, keindahan dalam sintesis kimia, juga keindahan penjelasan tentang kompleksitas dan keragaman makhluk hidup dengan gagasan-gagasan sederhana dalam teori evolusi.

Sedikit ringkasan, kebahagiaan kita peroleh melalui pencapaian-pencapaian dalam hidup yang menjadi ajang pembuktian kepada diri sendiri dan orang lain dalam bentuk produksi dan konsumsi kebenaran, kebaikan, dan keindahan atau gabungan ketiganya. Dalam rangka menunjukkan pencapaian kita kepada orang lain, kita menaruh berbagai benda-benda terkait pencapaian kita di ruang tamu, menaruh foto-foto di jaringan sosial, menyampaikan cerita kepada orang lain, juga menunjukkan benda-benda yang mampu kita beli. Namun demikian di tengah iri terhadap pencapaian orang dan kegagalan diri sendiri kita memasuki paradoks bahwa ternyata sumber kebahagiaan adalah juga sumber penderitaan, sebuah tema yang menjadi ajang riset para mistikus selama ribuan tahun. Sebelum ke situ, ada baiknya kita berhenti sejenak dan menonton film Fight Club yang mengkritik kehidupan modern yang sebagiannya menuju dekadensi, mengkritik keterasingan kita dari pekerjaan kita, dan juga mengkritik gaya kita berkonsumsi. Ada kutipan  yang menarik dalam film ini, "Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don't need."  Kutipan tersebut bisa kita bandingkan dengan pernyataan Dave Ramsey, "We buy things we don't need, with money we don't have, to impress people we don't like". Saat kebahagiaan kita semata dituntun oleh pihak lain, kita sedang menempatkan diri kita ke dalam bahaya.


Dalam dialognya dengan Aleksander, Diogenes sedang bermain peran sebagai seorang mistikus. Di hadapannya sedang berdiri seorang raja yang memilih kebahagiaan yang bersyarat, tetapi Aleksander sebenarnya mewakili seluruh umat manusia. Sebagaimana Aleksander, kita sering berkata bahwa 'aku akan berbahagia jika...' kemudian kita menyebut serangkaian keinginan kita dari mulai pencapaian akademis hingga gadget terbaru. Diogenes seakan bertanya, mengapa harus menunggu itu semua untuk berbahagia? Mengapa tidak berbahagia sekarang saja?  Walau matahari yang kita lihat saat ini adalah matahari 8 menit yang lalu, walau bintang yang kita pandangi di langit adalah bintang jutaan tahun yang lalu, sebagai sebuah pengalaman subyektif itu adalah pengalaman saat ini. Di hadapan kematian yang mampu mendatangi kita kapan saja, sesungguhnya kita tidak punya apa-apa selain saat ini. Oleh karena itu apapun cita-cita kita, apapun yang ingin kita raih, apapun kegagalan kita di masa lalu, apapun kepedihan yang masih tersisa, waktu yang kita miliki hanyalah saat ini. Satu-satunya yang mampu benar-benar kita upayakan adalah kebahagiaan pada detik ini.

Sayang sekali, walau Diogenes telah mengarahkan telunjuknya kepada kebahagiaan saat ini sebagai satu-satunya kemungkinan untuk berbahagia, dia tidak menunjukkan cara untuk mencapainya. Bapak mertuaku, kisah yang engkau sampaikan telah mengantarku sampai di sini, tetapi risalah kebahagiaan belum kutuntaskan. Sebagaimana engkau yakini kematian bukan akhir dari segala-galanya, aku berdoa semoga dalam perjalanan yang baru Bapak mendapatkan kebahagiaan. Kami yang engkau tinggalkan akan mengenang semua kebahagiaan bersamamu dan menjadikannya dorongan kekuatan untuk berbahagia di sini dan saat ini.

Minggu, 01 Desember 2013

Berterima Kasih kepada Kondom

Jika pasanganmu berhubungan seksual dengan orang lain di luar sepengetahuanmu, dan mereka tidak menggunakan kondom sebagai alat pengaman, ada kemungkinan pasanganmu tertular penyakit seksual menular (PMS) atau HIV-AIDS yang pada gilirannya akan menularkannya kepadamu.

Jika pasanganmu berhubungan seksual dengan orang lain dan dirimu adalah seorang istri, dan mereka tidak menggunakan kondom sebagai alat pengaman, ada kemungkinan terjadi kehamilan yang akan membuat keluargamu berantakan jika suamimu gagal mengatasinya.

Jika pasanganmu berhubungan seksual dengan orang lain dan dirimu adalah seorang suami, dan mereka tidak menggunakan kondom sebagai alat pengaman, ada kemungkinan terjadi kehamilan yang akan menjadikanmu seorang laki-laki yang menyayangi dan membesarkan seorang anak yang sebenarnya bukan darah dagingmu.

Tanpa engkau sadari kondom boleh jadi adalah semacam juru selamat, mungkin akan menyelamatkan dirimu atau keluargamu di masa depan, atau sudah menyelamatkan dirimu atau keluargamu hingga saat ini.

Bagi yang tidak sedang berpasangan, mohon maaf tulisan ini bias-pasangan.
Bagi yang berpasangan tidak dalam pernikahan, mohon maaf tulisan ini bias-perkawinan.
Bagi yang berorientasi seksual di tepian distribusi normal, mohon maaf tulisan ini bias-hetero.

Selamat merayakan Pekan Kondom Nasional 2013



Selasa, 26 November 2013

Sambil Lalu: Monalisa, Leonardo, dan Filsuf Posmo

Di Museum Louvre tidak ada kerumunan yang melebihi kerumunan di depan lukisan Monalisa. Engkau tidak akan mendapati sebuah benda yang dipamerkan di museum Louvre yang diberi petunjuk arah khusus untuk mencapainya selain lukisan Monalisa. Di belakang kerumunan engkau bisa melihat di pojok kanan atas dinding sebuah tanda agar berhati-hati dengan pencopet. Jika tanda tersebut tidak justru membuatmu berpikir untuk mencopet, itu tandanya engkau adalah orang baik. Dari jauh aku melihat ada sedikit pertengkaran di depan lukisan Monalisa karena ada yang ingin segera maju sementara yang di depannya sedang menghadapi masalah dengan kameranya. Pada lukisan Monalisa engkau bisa melihat sang Madona sedang tersenyum, seakan Leonardo bercerita bahwa perempuan itu sedang berbahagia. Sayang sekali jika yang ingin menikmati lukisan tersebut memilih untuk beradu kata. Jadi, jangan percaya jika ada yang bilang bahwa kebahagiaan itu mudah ditularkan.

Walau ada pengunjung yang datang ke Louvre hanya untuk bertemu Monalisa, mengambil foto Sang Madona, lalu pulang, dirimu jangan lupa untuk melihat La Charite Romaine karya Atelier de Jean Goujon tentang anak perempuan yang menyusui ayahnya atau Le Combat de David et Goliath karya Daniele Ricciarelli yang menggambarkan pertarungan David (Dawud) melawan Goliath (Jalut) dari dua sisi.




Kembali ke Leonardo, dunia mengenalnya sebagai sosok manusia renaisans, yakni manusia yang tidak hanya menggemari sains dan keteknikan tetapi juga bergumul dengan seni dan keindahan. Agak sulit untuk mencari padanannya sekarang di Indonesia, terutama setelah Romo Mangun meninggal. Renaisans sendiri adalah sebuah gerakan kultural yang bermula di Florens, sebuah kota kecil di Italia, yang lalu menyebar ke seantero Eropa. Namun demikian tidak banyak yang tahu bahwa sebagian biaya untuk proyek renaisans sebagian berasal dari emas-emas seorang raja muslim dari afrika. Alkisah sang raja melakukan perjalanan ke tanah suci untuk berhaji dan mampir di Kairo. Di sana dia membeli banyak barang dan mungkin juga ditipu oleh para pedagang di sana, di antaranya adalah para pedagang Italia. Dari situlah emas-emas Afrika berlayar ke Italia dan digunakan untuk mendanai beberapa proyek renaisans.

Salah satu aspek dari gerakan Renaisans adalah kebangkitan kehendak untuk mengetahui, dan Leonardo adalah salah satu manusia dengan kehendak mengetahui yang begitu kuat. Dia membongkar banyak mayat untuk mendapatkan gambar jaringan otot yang bahkan untuk ukuran modern sangat akurat. Yang menarik adalah dia juga ingin memecahkan persoalan yang bisa cukup penting, yakni bentuk alat reproduksi laki-laki dan perempuan saat berhubungan badan. Mungkin karena dia homo dan oleh karena, atau terbatas hanya, bereksperimen dengan mayat, gambarnya tidak akurat. Schultz dkk. melanjutkan riset Leonardo dengan menggunakan MRI untuk mendapatkan gambar keadaan genital laki-laki dan perempuan saat berhubungan badan, sekaligus untuk memeriksa apakah pengetahuan kita terkait hal tersebut berdasarkan fakta atau mitos belaka.


Leonardo meninggal dan dikebumikan di Prancis, dan ironisnya adalah dari Prancis pula lahir para filsuf yang justru mengabaikan kehendak untuk mengetahui dan menganggap enteng nilai dari kebenaran. Mereka yang disebut-sebut memelopori posmodernisme dalam filsafat selalu dirujuk para penggiat filsafat di Indonesia saat menyamakan sains dengan mitos atau menyetarakan perdukunan dengan kegiatan ilmiah. Mungkin niat mereka baik, ingin membela pengetahuan lokal atau ingin di sisi mereka yang tersingkir oleh modernisme. Tetapi, bukankah anekdot seekor kera yang mencoba menyelamatkan ikan yang dikiranya sedang tenggelam cukup untuk menunjukkan bahwa kadang niat baik saja tanpa pengetahuan yang benar justru bisa mengarah kepada kejahatan? Atau agar lebih keren berikut ini adalah kutipan dari The Plague karya Albert Camus, "The evil that is in the world always comes of ignorance, and good intentions may do as much harm as malevolence, if they lack understanding".