Selasa, 26 November 2013

Sambil Lalu: Monalisa, Leonardo, dan Filsuf Posmo

Di Museum Louvre tidak ada kerumunan yang melebihi kerumunan di depan lukisan Monalisa. Engkau tidak akan mendapati sebuah benda yang dipamerkan di museum Louvre yang diberi petunjuk arah khusus untuk mencapainya selain lukisan Monalisa. Di belakang kerumunan engkau bisa melihat di pojok kanan atas dinding sebuah tanda agar berhati-hati dengan pencopet. Jika tanda tersebut tidak justru membuatmu berpikir untuk mencopet, itu tandanya engkau adalah orang baik. Dari jauh aku melihat ada sedikit pertengkaran di depan lukisan Monalisa karena ada yang ingin segera maju sementara yang di depannya sedang menghadapi masalah dengan kameranya. Pada lukisan Monalisa engkau bisa melihat sang Madona sedang tersenyum, seakan Leonardo bercerita bahwa perempuan itu sedang berbahagia. Sayang sekali jika yang ingin menikmati lukisan tersebut memilih untuk beradu kata. Jadi, jangan percaya jika ada yang bilang bahwa kebahagiaan itu mudah ditularkan.

Walau ada pengunjung yang datang ke Louvre hanya untuk bertemu Monalisa, mengambil foto Sang Madona, lalu pulang, dirimu jangan lupa untuk melihat La Charite Romaine karya Atelier de Jean Goujon tentang anak perempuan yang menyusui ayahnya atau Le Combat de David et Goliath karya Daniele Ricciarelli yang menggambarkan pertarungan David (Dawud) melawan Goliath (Jalut) dari dua sisi.




Kembali ke Leonardo, dunia mengenalnya sebagai sosok manusia renaisans, yakni manusia yang tidak hanya menggemari sains dan keteknikan tetapi juga bergumul dengan seni dan keindahan. Agak sulit untuk mencari padanannya sekarang di Indonesia, terutama setelah Romo Mangun meninggal. Renaisans sendiri adalah sebuah gerakan kultural yang bermula di Florens, sebuah kota kecil di Italia, yang lalu menyebar ke seantero Eropa. Namun demikian tidak banyak yang tahu bahwa sebagian biaya untuk proyek renaisans sebagian berasal dari emas-emas seorang raja muslim dari afrika. Alkisah sang raja melakukan perjalanan ke tanah suci untuk berhaji dan mampir di Kairo. Di sana dia membeli banyak barang dan mungkin juga ditipu oleh para pedagang di sana, di antaranya adalah para pedagang Italia. Dari situlah emas-emas Afrika berlayar ke Italia dan digunakan untuk mendanai beberapa proyek renaisans.

Salah satu aspek dari gerakan Renaisans adalah kebangkitan kehendak untuk mengetahui, dan Leonardo adalah salah satu manusia dengan kehendak mengetahui yang begitu kuat. Dia membongkar banyak mayat untuk mendapatkan gambar jaringan otot yang bahkan untuk ukuran modern sangat akurat. Yang menarik adalah dia juga ingin memecahkan persoalan yang bisa cukup penting, yakni bentuk alat reproduksi laki-laki dan perempuan saat berhubungan badan. Mungkin karena dia homo dan oleh karena, atau terbatas hanya, bereksperimen dengan mayat, gambarnya tidak akurat. Schultz dkk. melanjutkan riset Leonardo dengan menggunakan MRI untuk mendapatkan gambar keadaan genital laki-laki dan perempuan saat berhubungan badan, sekaligus untuk memeriksa apakah pengetahuan kita terkait hal tersebut berdasarkan fakta atau mitos belaka.


Leonardo meninggal dan dikebumikan di Prancis, dan ironisnya adalah dari Prancis pula lahir para filsuf yang justru mengabaikan kehendak untuk mengetahui dan menganggap enteng nilai dari kebenaran. Mereka yang disebut-sebut memelopori posmodernisme dalam filsafat selalu dirujuk para penggiat filsafat di Indonesia saat menyamakan sains dengan mitos atau menyetarakan perdukunan dengan kegiatan ilmiah. Mungkin niat mereka baik, ingin membela pengetahuan lokal atau ingin di sisi mereka yang tersingkir oleh modernisme. Tetapi, bukankah anekdot seekor kera yang mencoba menyelamatkan ikan yang dikiranya sedang tenggelam cukup untuk menunjukkan bahwa kadang niat baik saja tanpa pengetahuan yang benar justru bisa mengarah kepada kejahatan? Atau agar lebih keren berikut ini adalah kutipan dari The Plague karya Albert Camus, "The evil that is in the world always comes of ignorance, and good intentions may do as much harm as malevolence, if they lack understanding".




Senin, 11 November 2013

Montmartre, agama, dan seksualitas

Montmartre adalah sebuah dataran tinggi di sebelah utara Paris yang merupakan salah satu tempat tujuan wisata di sekitar Paris. Dari sini engkau bisa melihat rimba raya beton bertulang yang bernama kota paris. Ya, salah satu daya tarik Montmartre adalah suguhan paronama Paris dari ketinggian bukit yang dulu dikeramatkan ini. Awalnya tempat ini bernama Mons Martis yang berarti Bukit Mars, tetapi sejak Eropa menjadi kristen, namanya sedikit direvisi dari segi pengucapan tetapi banyak perubahan dari segi makna menjadi Montmartre.  

Nama Montmartre bermakna bukit syuhada (martir), dan yang dimaksud adalah syuhada kristen. Di antara yang syahid di sini yang terkenal adalah Santo Denis. Konon seteleh dipenggal kepalanya, Santo Denis memungut kepalanya dan berjalan 10 kilometer sambil mendakwahkan kekristenan. Dalam banyak ikon, Santo Denis selalu digambarkan sebagai sosok yang memegang kepalanya sendiri. Engkau bisa menemukan ikon Santo Denis di pintu gerbang sebelah kiri dari Katedral Notredame atau di dalam Gereja Santo Priere di Montmartre. Sementara itu kisah pemenggalan Santo Denis juga dilukiskan di Pantheon.


Di wilayah Montmartre, dari jauh Basilica du Sacre-Coeur nampak mendominasi pandangan. Ini adalah gereja yang baru sekitar seratus tahunan umurnya sebagai bentuk devosi terhadap Hati Kudus (Sacre-Coeur/ Sacred Heart) Yesus. Banyak turis yang berkumpul di depan gereja ini sambil memandang kota Paris atau sambil mendengarkan musik yang disajikan pengamen yang sangat serius memainkan musiknya. Saat aku naik, ada pengamen yang bermain harpa menyanyikan Let it be-nya  The Beatles. Banyak juga turis yang masuk ke dalam gereja untuk menikmati keindahan di dalamnya. Sebenarnya ada gereja yang lebih bersejarah yang letaknya tepat di samping Sacre Coeur, yakni Gereja Santo Pierre. Namun sangat sedikit turis yang datang ke gereja ini.


Gereja Santo Pierre konon merupakan tempat pendirian Ordo Jesuit oleh Ignatius Loyola. Ordo ini termasuk ordo yang mengeluarkan usaha keras untuk membendung Protestanisme di era itu. Di samping itu, anggota mereka menyebar ke penjuru dunia untuk menyebarkan kekristenan, dan banyak berdebat dengan para pemimpin agama lain di belahan dunia yang lain. Di antara mereka ada yang sampai ke kerajaan Moghul di India dan di era Sultan Akbar, sultan paling pluralis di jamannya, mereka mendapat keleluasaan untuk menyebarkan kekristenan. 

Ada juga jesuit yang sampai ke negeri-negeri dengan mayoritas umat Buddha, seperti Myanmar, Thailand dan Tibet. Beberapa di antara mereka membawa ke Eropa gagasan-gagasan dari sebuah agama yang berbeda  dengan model Yahudi-Kristen-Islam. Bahkan ada juga jesuit yang ditarik kembali oleh Gereja dari Tibet karena tidak hanya kalah berdebat tetapi juga seperti goyah imannya. Singkat kata, gagagasan-gagasan Buddhisme justru masuk ke Eropa dari mereka-mereka yang justru mencoba menyebarkan kekristenan. Ketika gagasan Buddhisme menyebar di kalangan para pendeta Prancis itulah saat di mana David Hume berada di Prancis dan berinteraksi dengan para Jesuit. Dapat diduga bahwa David Hume mendapat gagasan bahwa diri itu tidak ada dan hanya ilusi, paralel dengan Buddhisme, berkat suplai pengetahuan dari para jesuit tersebut.

Kembali ke Montmartre, di sini engkau akan menjumpai paradoks. Nama yang begitu suci dan relijius, situs-situs agama yang juga bersejarah berdampingan dengan gemerlap toko-toko alat bantu seks dan riuhnya hiburan malam. Engkau tentu banyak menjumpai paradoks umat beragama. Misalnya paradoks betapa korupsi meraja-lela di sebuah bangsa yang relijius. Tetapi tidak ada yang lebih paradoks pada umat beragama daripada dalam hal seks.

        

Agak sulit menemukan teman laki-laki (aku tak tahu tentang teman perempuan) yang tak menyimpan film dewasa walau mereka tahu menonton perzinahan adalah sebuah dukungan terhadap perbuatan tersebut. Anggota DPR dari partai dakwah kedapatan membuka film dewasa bukan hal yang luar biasa, itu adalah potret keseharian. Apalagi ketika masih muda, konsep zina kering dan zina basah adalah teknologi kata-kata yang diciptakan untuk membahas sejauh mana bermain dengan dosa. Tidak heran jika di Amerika, tidak di sini, rata-rata usia remaja melakukan hubungan seks sama saja baik yang dibesarkan di dalam keluarga religius atau sekuler. Prosentase yang melakukan hubungan seks pun sama saja, religiusitas pendidikan tidak berpengaruh kepada angka di kedua belah sisi. Seakan-akan dalam hal seks, aturan tuhan bisa mereka tunda. Menariknya, kepercayaan kepada tuhan pada diri mereka tidak berkurang sedikitpun. Misalnya engkau bisa mendapati bahwa sahabatmu bisa menganggapmu melakukan penistaan terhadap agamanya saat engkau salah ucap mengkritik agamanya, padahal setiap saat engkau melihatnya menistakan tuhannya dalam hal seks.  Mungkin seks adalah satu-satunya nature yang tak bisa ditundukkan dengan agama.

Rabu, 06 November 2013

Seratus Tahun Albert Camus

Jika dirimu telah menonton film Amélie (2001), dirimu tentu mendapati bahwa lukisan Le Déjeuner des Canotiers karya Renoir merupakan belokan yang penting dalam film tersebut. Dalam lukisan tersebut ditampilkan seorang perempuan yang menikmati minumnya sendirian di tengah kegembiraan dan keramaian. Dia  larut dalam pikirannya sendiri, atau mungkin sedang dikuasai oleh perasaan kesendirian. Betapa sering kita seperti perempuan itu, merasa sepi dalam hiruk pikuk tawa, dan tiba-tiba dihadapkan dengan pikiran tentang eksistensi kita.

Kita kadang merasa seperti kerikil yang terlempar ke dalam kolam, tidak ada jalan lain selain tenggelam ke dalamnya. Kita tidak pernah ingin dilemparkan ke dunia, kita merasa dipilih tanpa diminta. Dan di dunia itu kita merasa gamang ketika menghadapkan tindakan kita dengan usia kita yang begitu singkat. Di dunia tersebut, dalam hidup kita yang singkat, kita bertanya tentang makna hidup, tentang tujuan keberadaan kita. Kita merasa pertanyaan tentang makna hidup begitu penting dan merupakan urusan hidup dan mati. Begitu banyak orang yang memilih kematian saat dia merasa di puncak pengetahuan tentang dirinya bahwa hidupnya sama sekali tidak bermakna.

Filsafat eksistensialisme membahas manusia dengan berangkat dari perasaan seperti itu. Bagi para pelopor dan pendukungnya, filsafat tentang perasaan dan tindakan manusia sebagai individu lebih penting daripada filsafat yang membahas manusia dan dunia secara universal. Kondisi manusia yang mempertanyakan makna hidup merupakan tema sentral dalam filsafat eksistensialisme. Ada keadaan absurd di sini, di mana manusia selalu terdorong untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang makna hidup dan ketidakmungkinan untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Aku merasa memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Ketika orang tua kita bercinta mereka tidak sedang membuat kita, mereka bercinta untuk kesenangan mereka. Saat mereka bercinta ada suatu kesempatan di mana secara kebetulan keadaan pas untuk konsepsi penggabungan sel sperma dan sel telur. Ratusan bahkan ribuan percintaan orang tua kita tidak menghasilkan konsepsi, dan sebagian konsepsi tidak berujung pada terciptanya embrio, dan sebagian embrio tidak berujung kepada lahirnya anak. Sejak di dalam kandungan makhluk hidup tersebut mengembangkan sebuah pribadi yang berujung kepada sosok yang mampu merasa memiliki pribadi yang tunggal, menjadi seperti diriku atau dirimu. Makhluk hidup tersebut jika beruntung akan bertahan sekitar 100 tahun sebelum akhirnya lenyap disapu waktu. Seperti batu atau gunung, kita muncul dan lenyap sepenuhnya melalui proses alam dan kebetulan. Tidak ada roh atau kehidupan setelah kematian, kedua konsep tersebut manusia ciptakan untuk menutupi rasa takut akan kematian. 

Dari situ, secara ilmiah keberadaan kita adalah tanpa tujuan, tanpa makna. Namun demikian, kita bisa menciptakan tujuan bagi hidup kita sendiri dan kemudian hidup dengan tujuan tersebut dengan sepenuh hati. Kita bisa berbahagia dan hidup dengan penuh makna yang kita ciptakan sendiri. Tetapi jawabanku ini, yang kurang lebih sejalan dengan para filsuf eksistensialis, tidak disetujui oleh Albert Camus, yang juga merupakan dedengkot eksistensialisme dari Prancis.

Seratus tahun yang lalu, 7 November 1913, Albert Camus dilahirkan ke dunia, lalu dunia mengenalnya sebagai filsuf eksistensialisme yang membahas absurditas eksistensi manusia. Dia menolak disebut filsuf, apalagi filsuf eksistensialisme, tetapi dia benar-benar telah membahas absurditas. Menurutnya kita tidak bisa mengatasi keadaan absurd, di mana terdapat tegangan antara hasrat untuk mendapat jawaban atas makna hidup dan ketidakmungkinan untuk mendapatkan jawabannya, dengan berpura-pura memiliki jawaban. Camus berpendapat bahwa satu-satunya jalan adalah merengkuh abusrditas tersebut, hidup dalam integritas, menghadapi kehidupan tanpa ragu, tidak lari dari problem kehidupan di depan mata, dan terus melawan kematian. Tidak hanya berkata-kata, Camus menunjukkan sosok seperti itu dalam novelnya La Peste dalam sosok dokter Rieux yang tetap waras saat wabah menyerang kota Oran. Wabah adalah simbol dari kesemena-menaan hidup, kematian, dan absurditas itu sendiri. Menghadapi hal tersebut dokter Rieux tetap mempertahankan integritas dan terus melawan kematian tanpa lari dari persoalan di hadapannya. Dia tidak lari kepada Tuhan dan dia tidak lari kepada keculasan atau ketidakpedulian. Dia berusaha sebaik-baiknya untuk menyelamatkan dunia, walau di sekeping kota Oran.

Camus mengklaim bahwa tugas setiap generasi adalah mencegah dunia dari proses menghancurkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, ketidakpedulian atas kematian merupakan sebentuk nihilisme yang Camus lawan dengan sepenuh hati. Kepedulian terhadap kehidupan tersebut yang membuatnya berseberangan dengan Sartre. Camus seperti menyesalkan bahwa Sartre ketika pemikirannya semakin dewasa justru semakin condong kepada Marxisme. Waktu itu Polpot belum melakukan pembantain, tetapi Camus telah melihat eksperimen Komunisme di Rusia dan negara-negara lain. Camus seperti melihat bahwa komunisme adalah sebentuk kerajaan kematian. Bersama Camus kita bisa melihat bahwa lari dari kebebasan dengan memilih sistem kepercayaan yang tak bisa dikritik adalah sebuah pilihan yang salah.

Di era sekarang, kita melihat para fundamentalis agama membunuhi manusia secara semena-mena. Bagi mereka karena sebenarnya kehidupan adalah kehidupan akhirat, kehidupan sekarang ini tidak ada maknanya. Mereka membunuhi sekerumunan orang yang tak tahu apa-apa hanya untuk memberi pesan perlawanan. Mereka mencoba membunuh seorang remaja padahal dia memberikan kritik dengan kata-kata. Pada diri fundamentalis agama tersebut kita melihat semacam puncak dari nihilisme, di mana tidak ada hasrat sama sekali untuk merawat kehidupan. Dan dengan adanya kecanggihan teknologi informasi dan teknologi membunuh (senjata nuklir, biologi, kimia, dan bom kotor) saat ini, melawan nihilisme memiliki pertaruhan yang lebih serius. Kita tidak bisa bayangkan jika puncak pencapaian manusia dalam teknologi dikuasai oleh orang-orang yang tidak peduli dengan kehidupan. Melawan nihilisme semacam ini merupakan tugas dari setiap generasi.

Selamat ulang tahun yang ke seratus, Camus, terima kasih untuk semua yang telah engkau berikan.