terprovokasi oleh Heidegger
Aku ada di dunia ini. Kusadari adaku. Kusadari pula bahwa adaku adalah bukan mauku, aku tidak pernah ditanya apakah aku bersedia diadakan di dunia ini. Selalu ada tanya, apakah aku mesti menghidupi adaku yang bukan mauku. Di ujung adaku, maut akan menebasku. Banyak orang mencoba melawan maut, namun setahuku belum ada yang berhasil. Aku sadari aku pasti mati, walau kadang aku mengingkarinya. Yang lebih banyak adalah dengan melupakannya. Namun maut selalu menolak untuk diabaikan, ia sering hadir di saat orgasmeku, atau di saat lemak mencair dalam mulutku, atau ketika punggungku nyaman menyandar di kasur-kapasku. Pokoknya ia sering menjadi bayangan gelap di saat momen-terang-menyenangkanku.
Memang, kesenangan. Aku takut mati karena ia akan memupus segala kesenanganku. Segala kesenangan yang pernah dan mungkin akan kuperoleh. Maut akan memupus kesenanganku berkelamin, maut akan menghentikanku menikmati pecel Madiun, maut juga akan menghapus gunung dan lautan dari diriku. Pokoknya maut akan menutup semua jalur inderaku yang merupakan gerbang-kesenanganku.
Ya, aku takut mati, aku menggigil di hadapannya. Tapi siapa yang tidak? Ia pasti datangnya, walau tak pasti kapannya. Karena tak pasti itulah aku semakin takut mati. Ia seakan kawan seiring, selalu menguntit adaku, dan setiap saat bisa menelanku. Saat kelewangnya berkelebat dan leher keberadaanku putus, kesenanganku berguling jatuh ke tanah seketika itu juga.
Itulah mengapa, kredo pertama sebelum segala kredo yang lain adalah: aku hanya ingin senang. Betapa sering aku dibuat jengkel ketika gangguan datang di saat aku sedang menikmati kesenanganku. Kata hatiku, dan mungkin juga kata hatimu: ”Jangan menginterupsi kesenanganku, karena setiap saat maut bisa menginterupsi adaku. Biarlah saat ini menjadi abadi. Biarlah setiap detikku adalah kesenangan.”
Wahai diriku, mari berhedon-hedon.