Minggu, 31 Januari 2010

Kembang Api dan Kopi

Mbah Surip, saat engkau berpulang kukatakan bahwa kehidupanmu mengingatkanku akan kembang api, sekejap gemerlap di angkasa lalu mati.

Kini saat ngopi aku teringat engkau lagi, apa yang bisa membunuhmu adalah satu-satunya hal yang membuatmu tetap hidup. Kopi malam ini kok nikmat sekali, ya?

Kamis, 28 Januari 2010

... ergo sum

Erecto ergo sum

Senin, 25 Januari 2010

Sabar

Seorang kawan bertanya, "Apa yang dimaksud dengan sabar?"
Kujawab, "Sabar itu tetap berusaha terang ketika dunia luar mengajak kita ke kegelapan hati."
Dia menimpali," Wah itu sulit dilakukan, cuma mudah diomongkan."
Kujawab," O lha iya. Kalau mudah semua orang akan menjadi mistikus."

Sabtu, 23 Januari 2010

Fiksi

Madfal minggu kemarin mengangkat obrolan tentang Umberto Eco. Dalam kesempatan tersebut aku mencoba menghubungkan keterkaitan antara satu aspek dalam buku darasnya dengan satu aspek dalam novel-novelnya.

Eco dikenal sebagai pakar semiotika, tentu di samping bidang-bidang yang lain. Dalam sebuah kesempatan Eco pernah bilang bahwa semiotika adalah disiplin yang mempelajari apa saja yang bisa digunakan untuk berdusta. Namun beliau menambahkan bahwa apa yang bisa digunakan untuk berdusta juga bisa digunakan untuk menyatakan kebenaran. Kalimat terakhir ini mengingatkanku pada pernyataan Karl Popper bahwa suatu pengetahuan bisa disebut ilmiah jika bisa dinyatakan salah. Tentu kedua pernyataan tersebut tidak paralel-paralel amat. Tapi keduanya menyiratkan satu hal bahwa pengetahuan manusia bersifat fiktif adanya, bahkan pengetahuan saintifik sekalipun tidak bisa lepas dari sifat kefiktifan.

Kefiktifan pengetahuan manusia inilah yang merupakan salah satu aspek yang ditunjukkan Eco dalam novel-novelnya. Dalam The Name of The Rose, sang detektif William mencoba memecahkan kasus pembunuhan berantai di mana setiap terjadi pembunuhan dia mencoba melakukan penyimpulan-penyimpulan. Dia akhir cerita, William mengakui bahwa akhirnya semua penyimpulan tersebut terbukti salah. Sementara itu dalam novel Baudolino sang tokoh adalah seorang pencerita yang nampaknya mencampuradukkan fakta dan fiksi yang dia sendiri lama-lama percaya dengan fiksi yang dibuatnya sendiri. Baudolino telah sukses mewakili kita sebagai manusia-manusia yang menciptakan fiksi.

Dalam kefiktifan tersebut manusia bertukar pengetahuan dan tak bisa melepaskan diri dan harus selalu waspada dengan kedustaan. Apalagi di zaman sekarang di mana media tidak hanya memberi informasi tapi juga melakukan disinformasi. Di luar sana banyak orang yang entah dengan sadar atau tidak sadar mencoba membentuk, mempersuasi dan kadang bahkan memaksakan penafsirannya terhadap realitas. Tentu kita ingat kata Edward Said, Realitas tidak hadir begitu saja tapi dihadirkan.

Namun demikian, kefiktifan pengetahuan manusia adalah sebuah kutukan. Walau berisiko untuk berdusta dan didustai, manusia tidak punya jalan lain dalam mengetahui kecuali harus dengan berfiksi-ria. Kita selamanya tidak pernah bisa mengetahui realitas sejati, pengetahuan kita tentang realitas adalah sebuah fiksi yang, dengan bantuan orang lain, kita ciptakan sebagai representasi realitas. Sampai di sini kita harus mengakui benar adanya jika dikatakan bahwa filsafat belum beranjak lebih jauh dari pemikiran Kant.

Selasa, 12 Januari 2010

Mengenang Gus Dur 2

Satu Gus Dur, satu kelakar dalam dua versi

Mengapa terjadi gempa di Bantul? tanya Gus Dur. Dijawab sendiri oleh Gus Dur, karena Ratu Kidul dipaksa memakai jilbab. Dalam kesempatan lain beliau memberikan jawaban lain, gempa Bantul terjadi karena Ratu Kidul dilarang memakai jilbab.

 Walau banyak yang mengatakan berjilbab merupakan kewajiban agama bagi para muslimah, ada juga ulama yang mengatakan bahwa jilbab bukan kewajiban agama, misalnya mantan qadhi Mesir yang bernama Al Asymawi.

Kita dapati di masa lalu terjadi pelarangan terhadap pemakaian jilbab. Sekarang ini keadaan berbalik, banyak instansi yang mewajibkannya, beberapa pemda misalnya, juga sekolah-sekolah di suatu propinsi walau hanya wajib untuk hari jumat saja.

Dua versi kelakar di atas menunjukkan hanya ada satu Gus Dur, beliau tidak suka dengan pemaksaan dan pelarangan untuk hal-hal semacam ini.

Lagi ngapain di sana, Gus?