Senin, 29 Maret 2010

... ergo sum (2)

corrupto ergo sum

Selasa, 09 Maret 2010

Melanggar Kebebasan Beragama

Sore kemarin aku bermaksud menonton ‘The Diving Bell and The Buterrfly’ di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Maulana Yusuf. Sampai di sana aku diberi tahu bahwa seminggu sebelumnya sudah diumumkan bahwa acara nonton untuk sore itu dibatalkan karena akan diadakan diskusi. Pikir-pikir, belum pernah aku berdiskusi di gereja, jadi ikutlah aku dalam diskusi tanpa tahu apa temanya. Apalagi katanya dapat makanan. Siangnya aku sudah dapat snack gratis dari teman yang seminar, jadi jika sore harinya aku dapat makan petang gratis juga aku merasa diberkati deret geometris.

Diskusi sore itu akan mendengarkan dan mengulas laporan dari Instititue for Cultural and Religion Studies (INCReS) yang dibawakan oleh koordinatornya Din Din Abdullah Ghazali tentang pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan tindakan intoleransi di Jawa Barat pada tahun 2009. Salah satu pengulasnya adalah Muhammad Guntur Romli, aktivis yang satu setengah tahun lalu menjadi korban pengeroyokan saat Insiden Monas hingga menderita parah dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Tentu saja di sela-sela makan sore sebelum diskusi dilaksanakan aku mencoba mengobrol ringan dengan mas Guntur Romli. Salah satu informasi yang kuterima dari beliau adalah bahwa pemikir Islam yang sangat brilian Khaled Abu El Fadl saat ini psedang sakit. Aku sedih mendengarnya. Informasi lain adalah bahwa beliau sekarang aktif dalam Komunitas Salihara, dan membeberkan beberapa kegiatan di sana yang mungkin menarik untuk diikuti.

Ada banyak hal dibahas dalam diskusi sore hingga malam itu, banyak hal menarik pula. Tapi dalam kesempatan ini aku ingin menyampaikan sedikit saja pikiranku yang kulemparkan dalam forum tersebut. Mumpung temanya adalah pelanggaran kebebasan beragama, aku bertanya bukankah sebenarnya kita semua yang telah melakukan pelanggaran kebebasan beragama. Faktanya adalah kita para orang tua merasa punya hak untuk mengajar anak-anak kita agama yang kita anut, kita mengindoktrinasi mereka justru ketika mereka lemah dan tergantung kepada kita baik secara finansial, emosional, maupun pemikiran. 

Tentu pertanyaanku mendapat tanggapan dari para ahli yang sedang memimpin diskusi pada saat itu. Tapi sekarang aku tidak punya waktu untuk menceritakannya. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur sambil sebentar ingin memikirkan ulang pertanyaanku tersebut.

Rabu, 03 Maret 2010

Kematian dalam tiga status

Sang maut mengingatkanku, kita sudah lama tidak bertemu. Dengan kematian, rindu menjadi mungkin. 

Untung ada kematian, kalau tidak maka kesedihan dan kegembiraanku tidak akan bisa kumaknai.
Mungkin hidup ini tidak bermakna, tapi adanya kematian membuat kita bisa memberinya makna.

Dengan tidak adanya kematian, kehidupan abadi di akhirat pasti tidak bermakna dan pasti tidak bisa diberi makna.