Jumat, 06 Desember 2013

Almarhum Bapak Mertua dan Diogenes


Kemarin bapak mertuaku meninggal pada usia 82 tahun. Beliau terlahir dengan nama Sanusi; memberi nama tunggal adalah sebuah kelaziman di zaman itu untuk orang biasa. Sejauh yang aku kenal, beliau adalah pensiunan PNS yang jujur dan sangat menyayangi anak dan cucunya. Di samping itu beliau sebagai lulusan IAIN juga memiliki pandangan yang luas tidak hanya dalam agama tetapi juga filsafat, dan usia tidak menumpulkan ketajaman beliau dalam berfikir.  Di setiap pertemuan keluarga besar Bani Masyhud, sebagai yang dituakan Bapak sering diminta untuk memberikan wejangan. Pernah suatu ketika dalam acara rutin tiap lebaran tersebut beliau menceritakan kisah dialog antara Diogenes dengan Aleksander Agung yang akan aku kisahkan lagi nanti di sini. Tetapi terlebih dulu aku akan menyinggung hal lain yang menurutku merupakan sebuah kenangan yang manis.

Tidak sering tetapi beberapa kali aku dan Bapak berdiskusi hingga larut malam. Sekarang aku masih mengenang bagaimana aku bersama istriku terlambat menikmati malam pertama karena aku terlalu asik berdiskusi dengan beliau di mana salah satunya adalah sebuah persoalan fikih. Waktu itu kami mendiskusikan kenajisan anjing yang umum dianut oleh muslim Indonesia yang sebagian besar bermadzhab Syafi'i. Matan (redaksi) dari hadist yang menjadi dalilnya sendiri sama sekali tidak menyinggung isu kenajisan, bahkan hanya berbicara tentang wadah air. Di sana hanya ada perintah agar mencuci wadah air yang airnya diminum oleh anjing sebanyak tujuh kali di mana salah satunya dengan tanah. Tidak heran jika Imam Malik, guru Imam Syafi'i dalam hadits, justru tidak mengaitkannya dengan ibadah atau najis tidaknya air liur anjing, dan menganggapnya sebagai perintah terkait kebersihan. Di ujung diskusi dengan Bapak aku tersadar hari sudah larut malam. Aku bersyukur waktu itu pengantinku masih sabar menunggu.

Berikut ini adalah dialog antara Diogenes dengan Aleksander Agung yang pernah diceritakan oleh Bapak. Sebelumnya perlu disampaikan bahwa Diogenes adalah filsuf yang hidup di dalam tong besar dan merasa cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Saat Aleksander Agung datang Diogenes bertanya apa yang sedang direncanakan oleh Sang Raja, lalu Aleksander menjawab bahwa ia akan menaklukkan Yunani. Lalu apa lagi, tanya Diogenes. Aleksander menjawab bahwa dia berencana untuk menaklukkan belahan dunia bagian timur hingga ke India. Diagones bertanya lagi, setelah itu apa? Aleksander menjawab bahwa setelah menaklukkan dunia dia bisa bersantai dan menikmati diri sendiri. Merespon hal tersebut Diogenes beretorika: mengapa harus repot-repot melakukan penaklukan terlebih dahulu dan tidak sekarang saja memilih untuk bersantai dan menikmati diri sendiri? Aleksander termangu, kemudian ia mengakui kebijaksanaan Diogenes dan, sebagai imbalannya, khas seorang raja yang agung Aleksander mempersilakan Diogenes untuk mengajukan permintaan. Diogenes hanya meminta Aleksander yang berdiri di hadapannya untuk sedikit bergeser karena tanpa sadar Aleksander sedang menghalangi Diogenes dari sinar matahari. Saat didatangi oleh Aleksander, sebenarnya Diogenes sedang berjemur.


Kebenaran dan kakuratan kisah tersebut memang dipertanyakan, dan sebenarnya hampir semua anekdot dibuat bukan untuk kebenaran sejarah tetapi untuk menciptakan sebuah gambaran, misalnya tentang kontrasnya pemikiran atau tentang pilihan-pilihan hidup yang sulit. Aleksander sendiri pada akhirnya berhasil  melakukan penaklukan hingga ke Persia walau hanya mencicipi sebagian India Utara. Di dalam Al Quran ada kisah tentang Dzulqarnain yang secara harfiah berarti 'dia yang memiliki timur dan barat' yang oleh banyak ahli tafsir ditafsirkan sebagai Aleksander. Secara koinsiden Aleksander memiliki daerah kekuasaan yang luas yang membentang dari barat ke timur. Mungkin saja benar bahwa yang dimaksud dengan Dzulqarnain adalah Aleksander. Terkait timur dan barat, dia sungguh telah berhasil mencapai apa yang dia inginkan.

Anekdot tersebut berbicara tentang ragam sudut pandang tentang kebahagiaan. Pada diri Aleksander kita menemukan diri kita yang berbahagia dengan pencapaian-pencapaian kita. Kita merencanakan, menempuh jalan untuk mencapainya, lalu merayakannya setelah semuanya terselesaikan. Dalam banyak hal kita menjadikan cita-cita kita dan upaya untuk mencapainya sebagai bagian dari jati diri yang, entah keseluruhan atau sebagian, merupakan ajang pembuktian tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. Tidak jarang keadaan sangat berbalik di mana apa yang kita lakukan bertentangan dengan yang kita cita-citakan. Hal tersebut tak terhindarkan saat kita dihadapkan dengan pragmatisme pemenuhan kebutuhan hidup, sebagaimana muncul dalam ungkapan "Aku membenci pekerjaan ini, tetapi gajinya bagus". Tentu kebahagiaan maksimum bisa kita peroleh jika pekerjaan kita adalah pertemuan dari idealisme penemuan jati diri dengan pragmatisme pemenuhan kebutuhan hidup. Di sini walaupun berposisi seratus delapan puluh derajat dengan Marxisme aku menyetujui pendapat Marx saat mengatakan bahwa semestinya manusia tidak terasing dengan apa yang dilakukannya.

Ada setidaknya tiga hal dalam hidup yang kita manusia memberikan apresiasi, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Jika kita berbicara tentang kebahagiaan, kita juga tidak bisa melepaskan diri dari hal ihwal memproduksi dan mengkonsumsi ketiga hal tersebut. Setelah data eksperimen cukup membuktikan keberadaan partikel Higgs Boson yang secara matematis sudah diramalkan keberadaanya, kita ikut menyambutnya dengan gembira. Walau kita tidak begitu paham mekanisme Higgs dalam spontaneous symmetry breaking, kita berbahagia saat umat manusia setapak lebih maju dalam hal pengetahuan asal muasal massa yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh partikel-partikel subatomik. Hal tersebut adalah semata karena kita adalah makhluk yang secara emosional berbahagia saat mengkonsumsi pengetahuan dan kebenaran.

Dalam bebagai isu moral yang selalu tidak mudah untuk diambil keputusan kita mengerahkan seluruh kemampuan kita sebagai makhluk-konsumen-kebaikan untuk memberikan sikap yang terbaik. Dalam menghadapinya kita menimbang segala kebaikan yang diperoleh oleh individu dan masyarakat terkait trade off dari sebuah keputusan moral. Adalah menarik bahwa memikirkan pilihan moral sebagai bagian kegiatan konsumsi kebaikan sangat membutuhkan bantuan dari sisi lain kecenderungan kita dalam mengkonsumsi kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dalam kebenaran dan kebahagiaan dalam kebaikan tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan.

Di sisi lain, kebahagiaan estetis dalam konsumsi keindahan adalah yang paling banyak kita lakukan, dari mulai menikmati kebersamaan dengan kekasih, menonton film, pergi ke pertunjukan teater, membaca karya sastra, mengapresiasi hasil budi dan daya manusia di museum, menikmati pemandangan, mendengarkan musik, hingga hal-hal lain yang tak terkira jumlahnya. Tidak hanya kesenangan seperti itu, bahkan kebenaran ilmiah pun tidak terlepas dari unsur keindahan, misalnya keindahan simetri dan ketika simetri mengalami breaking, keindahan dalam sintesis kimia, juga keindahan penjelasan tentang kompleksitas dan keragaman makhluk hidup dengan gagasan-gagasan sederhana dalam teori evolusi.

Sedikit ringkasan, kebahagiaan kita peroleh melalui pencapaian-pencapaian dalam hidup yang menjadi ajang pembuktian kepada diri sendiri dan orang lain dalam bentuk produksi dan konsumsi kebenaran, kebaikan, dan keindahan atau gabungan ketiganya. Dalam rangka menunjukkan pencapaian kita kepada orang lain, kita menaruh berbagai benda-benda terkait pencapaian kita di ruang tamu, menaruh foto-foto di jaringan sosial, menyampaikan cerita kepada orang lain, juga menunjukkan benda-benda yang mampu kita beli. Namun demikian di tengah iri terhadap pencapaian orang dan kegagalan diri sendiri kita memasuki paradoks bahwa ternyata sumber kebahagiaan adalah juga sumber penderitaan, sebuah tema yang menjadi ajang riset para mistikus selama ribuan tahun. Sebelum ke situ, ada baiknya kita berhenti sejenak dan menonton film Fight Club yang mengkritik kehidupan modern yang sebagiannya menuju dekadensi, mengkritik keterasingan kita dari pekerjaan kita, dan juga mengkritik gaya kita berkonsumsi. Ada kutipan  yang menarik dalam film ini, "Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don't need."  Kutipan tersebut bisa kita bandingkan dengan pernyataan Dave Ramsey, "We buy things we don't need, with money we don't have, to impress people we don't like". Saat kebahagiaan kita semata dituntun oleh pihak lain, kita sedang menempatkan diri kita ke dalam bahaya.


Dalam dialognya dengan Aleksander, Diogenes sedang bermain peran sebagai seorang mistikus. Di hadapannya sedang berdiri seorang raja yang memilih kebahagiaan yang bersyarat, tetapi Aleksander sebenarnya mewakili seluruh umat manusia. Sebagaimana Aleksander, kita sering berkata bahwa 'aku akan berbahagia jika...' kemudian kita menyebut serangkaian keinginan kita dari mulai pencapaian akademis hingga gadget terbaru. Diogenes seakan bertanya, mengapa harus menunggu itu semua untuk berbahagia? Mengapa tidak berbahagia sekarang saja?  Walau matahari yang kita lihat saat ini adalah matahari 8 menit yang lalu, walau bintang yang kita pandangi di langit adalah bintang jutaan tahun yang lalu, sebagai sebuah pengalaman subyektif itu adalah pengalaman saat ini. Di hadapan kematian yang mampu mendatangi kita kapan saja, sesungguhnya kita tidak punya apa-apa selain saat ini. Oleh karena itu apapun cita-cita kita, apapun yang ingin kita raih, apapun kegagalan kita di masa lalu, apapun kepedihan yang masih tersisa, waktu yang kita miliki hanyalah saat ini. Satu-satunya yang mampu benar-benar kita upayakan adalah kebahagiaan pada detik ini.

Sayang sekali, walau Diogenes telah mengarahkan telunjuknya kepada kebahagiaan saat ini sebagai satu-satunya kemungkinan untuk berbahagia, dia tidak menunjukkan cara untuk mencapainya. Bapak mertuaku, kisah yang engkau sampaikan telah mengantarku sampai di sini, tetapi risalah kebahagiaan belum kutuntaskan. Sebagaimana engkau yakini kematian bukan akhir dari segala-galanya, aku berdoa semoga dalam perjalanan yang baru Bapak mendapatkan kebahagiaan. Kami yang engkau tinggalkan akan mengenang semua kebahagiaan bersamamu dan menjadikannya dorongan kekuatan untuk berbahagia di sini dan saat ini.