Jika dirimu telah menonton film Amélie (2001), dirimu tentu mendapati bahwa lukisan Le Déjeuner des Canotiers karya Renoir merupakan belokan yang penting dalam film tersebut. Dalam lukisan tersebut ditampilkan seorang perempuan yang menikmati minumnya sendirian di tengah kegembiraan dan keramaian. Dia larut dalam pikirannya sendiri, atau mungkin sedang dikuasai oleh perasaan kesendirian. Betapa sering kita seperti perempuan itu, merasa sepi dalam hiruk pikuk tawa, dan tiba-tiba dihadapkan dengan pikiran tentang eksistensi kita.
Kita kadang merasa seperti kerikil yang terlempar ke dalam kolam, tidak ada jalan lain selain tenggelam ke dalamnya. Kita tidak pernah ingin dilemparkan ke dunia, kita merasa dipilih tanpa diminta. Dan di dunia itu kita merasa gamang ketika menghadapkan tindakan kita dengan usia kita yang begitu singkat. Di dunia tersebut, dalam hidup kita yang singkat, kita bertanya tentang makna hidup, tentang tujuan keberadaan kita. Kita merasa pertanyaan tentang makna hidup begitu penting dan merupakan urusan hidup dan mati. Begitu banyak orang yang memilih kematian saat dia merasa di puncak pengetahuan tentang dirinya bahwa hidupnya sama sekali tidak bermakna.
Filsafat eksistensialisme membahas manusia dengan berangkat dari perasaan seperti itu. Bagi para pelopor dan pendukungnya, filsafat tentang perasaan dan tindakan manusia sebagai individu lebih penting daripada filsafat yang membahas manusia dan dunia secara universal. Kondisi manusia yang mempertanyakan makna hidup merupakan tema sentral dalam filsafat eksistensialisme. Ada keadaan absurd di sini, di mana manusia selalu terdorong untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang makna hidup dan ketidakmungkinan untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Aku merasa memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Ketika orang tua kita bercinta mereka tidak sedang membuat kita, mereka bercinta untuk kesenangan mereka. Saat mereka bercinta ada suatu kesempatan di mana secara kebetulan keadaan pas untuk konsepsi penggabungan sel sperma dan sel telur. Ratusan bahkan ribuan percintaan orang tua kita tidak menghasilkan konsepsi, dan sebagian konsepsi tidak berujung pada terciptanya embrio, dan sebagian embrio tidak berujung kepada lahirnya anak. Sejak di dalam kandungan makhluk hidup tersebut mengembangkan sebuah pribadi yang berujung kepada sosok yang mampu merasa memiliki pribadi yang tunggal, menjadi seperti diriku atau dirimu. Makhluk hidup tersebut jika beruntung akan bertahan sekitar 100 tahun sebelum akhirnya lenyap disapu waktu. Seperti batu atau gunung, kita muncul dan lenyap sepenuhnya melalui proses alam dan kebetulan. Tidak ada roh atau kehidupan setelah kematian, kedua konsep tersebut manusia ciptakan untuk menutupi rasa takut akan kematian.
Dari situ, secara ilmiah keberadaan kita adalah tanpa tujuan, tanpa makna. Namun demikian, kita bisa menciptakan tujuan bagi hidup kita sendiri dan kemudian hidup dengan tujuan tersebut dengan sepenuh hati. Kita bisa berbahagia dan hidup dengan penuh makna yang kita ciptakan sendiri. Tetapi jawabanku ini, yang kurang lebih sejalan dengan para filsuf eksistensialis, tidak disetujui oleh Albert Camus, yang juga merupakan dedengkot eksistensialisme dari Prancis.
Seratus tahun yang lalu, 7 November 1913, Albert Camus dilahirkan ke dunia, lalu dunia mengenalnya sebagai filsuf eksistensialisme yang membahas absurditas eksistensi manusia. Dia menolak disebut filsuf, apalagi filsuf eksistensialisme, tetapi dia benar-benar telah membahas absurditas. Menurutnya kita tidak bisa mengatasi keadaan absurd, di mana terdapat tegangan antara hasrat untuk mendapat jawaban atas makna hidup dan ketidakmungkinan untuk mendapatkan jawabannya, dengan berpura-pura memiliki jawaban. Camus berpendapat bahwa satu-satunya jalan adalah merengkuh abusrditas tersebut, hidup dalam integritas, menghadapi kehidupan tanpa ragu, tidak lari dari problem kehidupan di depan mata, dan terus melawan kematian. Tidak hanya berkata-kata, Camus menunjukkan sosok seperti itu dalam novelnya La Peste dalam sosok dokter Rieux yang tetap waras saat wabah menyerang kota Oran. Wabah adalah simbol dari kesemena-menaan hidup, kematian, dan absurditas itu sendiri. Menghadapi hal tersebut dokter Rieux tetap mempertahankan integritas dan terus melawan kematian tanpa lari dari persoalan di hadapannya. Dia tidak lari kepada Tuhan dan dia tidak lari kepada keculasan atau ketidakpedulian. Dia berusaha sebaik-baiknya untuk menyelamatkan dunia, walau di sekeping kota Oran.
Camus mengklaim bahwa tugas setiap generasi adalah mencegah dunia dari proses menghancurkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, ketidakpedulian atas kematian merupakan sebentuk nihilisme yang Camus lawan dengan sepenuh hati. Kepedulian terhadap kehidupan tersebut yang membuatnya berseberangan dengan Sartre. Camus seperti menyesalkan bahwa Sartre ketika pemikirannya semakin dewasa justru semakin condong kepada Marxisme. Waktu itu Polpot belum melakukan pembantain, tetapi Camus telah melihat eksperimen Komunisme di Rusia dan negara-negara lain. Camus seperti melihat bahwa komunisme adalah sebentuk kerajaan kematian. Bersama Camus kita bisa melihat bahwa lari dari kebebasan dengan memilih sistem kepercayaan yang tak bisa dikritik adalah sebuah pilihan yang salah.
Di era sekarang, kita melihat para fundamentalis agama membunuhi manusia secara semena-mena. Bagi mereka karena sebenarnya kehidupan adalah kehidupan akhirat, kehidupan sekarang ini tidak ada maknanya. Mereka membunuhi sekerumunan orang yang tak tahu apa-apa hanya untuk memberi pesan perlawanan. Mereka mencoba membunuh seorang remaja padahal dia memberikan kritik dengan kata-kata. Pada diri fundamentalis agama tersebut kita melihat semacam puncak dari nihilisme, di mana tidak ada hasrat sama sekali untuk merawat kehidupan. Dan dengan adanya kecanggihan teknologi informasi dan teknologi membunuh (senjata nuklir, biologi, kimia, dan bom kotor) saat ini, melawan nihilisme memiliki pertaruhan yang lebih serius. Kita tidak bisa bayangkan jika puncak pencapaian manusia dalam teknologi dikuasai oleh orang-orang yang tidak peduli dengan kehidupan. Melawan nihilisme semacam ini merupakan tugas dari setiap generasi.
Selamat ulang tahun yang ke seratus, Camus, terima kasih untuk semua yang telah engkau berikan.