Montmartre adalah sebuah dataran tinggi di sebelah utara Paris yang merupakan salah satu tempat tujuan wisata di sekitar Paris. Dari sini engkau bisa melihat rimba raya beton bertulang yang bernama kota paris. Ya, salah satu daya tarik Montmartre adalah suguhan paronama Paris dari ketinggian bukit yang dulu dikeramatkan ini. Awalnya tempat ini bernama Mons Martis yang berarti Bukit Mars, tetapi sejak Eropa menjadi kristen, namanya sedikit direvisi dari segi pengucapan tetapi banyak perubahan dari segi makna menjadi Montmartre.
Nama Montmartre bermakna bukit syuhada (martir), dan yang dimaksud adalah syuhada kristen. Di antara yang syahid di sini yang terkenal adalah Santo Denis. Konon seteleh dipenggal kepalanya, Santo Denis memungut kepalanya dan berjalan 10 kilometer sambil mendakwahkan kekristenan. Dalam banyak ikon, Santo Denis selalu digambarkan sebagai sosok yang memegang kepalanya sendiri. Engkau bisa menemukan ikon Santo Denis di pintu gerbang sebelah kiri dari Katedral Notredame atau di dalam Gereja Santo Priere di Montmartre. Sementara itu kisah pemenggalan Santo Denis juga dilukiskan di Pantheon.
Di wilayah Montmartre, dari jauh Basilica du Sacre-Coeur nampak mendominasi pandangan. Ini adalah gereja yang baru sekitar seratus tahunan umurnya sebagai bentuk devosi terhadap Hati Kudus (Sacre-Coeur/ Sacred Heart) Yesus. Banyak turis yang berkumpul di depan gereja ini sambil memandang kota Paris atau sambil mendengarkan musik yang disajikan pengamen yang sangat serius memainkan musiknya. Saat aku naik, ada pengamen yang bermain harpa menyanyikan Let it be-nya The Beatles. Banyak juga turis yang masuk ke dalam gereja untuk menikmati keindahan di dalamnya. Sebenarnya ada gereja yang lebih bersejarah yang letaknya tepat di samping Sacre Coeur, yakni Gereja Santo Pierre. Namun sangat sedikit turis yang datang ke gereja ini.
Gereja Santo Pierre konon merupakan tempat pendirian Ordo Jesuit oleh Ignatius Loyola. Ordo ini termasuk ordo yang mengeluarkan usaha keras untuk membendung Protestanisme di era itu. Di samping itu, anggota mereka menyebar ke penjuru dunia untuk menyebarkan kekristenan, dan banyak berdebat dengan para pemimpin agama lain di belahan dunia yang lain. Di antara mereka ada yang sampai ke kerajaan Moghul di India dan di era Sultan Akbar, sultan paling pluralis di jamannya, mereka mendapat keleluasaan untuk menyebarkan kekristenan.
Ada juga jesuit yang sampai ke negeri-negeri dengan mayoritas umat Buddha, seperti Myanmar, Thailand dan Tibet. Beberapa di antara mereka membawa ke Eropa gagasan-gagasan dari sebuah agama yang berbeda dengan model Yahudi-Kristen-Islam. Bahkan ada juga jesuit yang ditarik kembali oleh Gereja dari Tibet karena tidak hanya kalah berdebat tetapi juga seperti goyah imannya. Singkat kata, gagagasan-gagasan Buddhisme justru masuk ke Eropa dari mereka-mereka yang justru mencoba menyebarkan kekristenan. Ketika gagasan Buddhisme menyebar di kalangan para pendeta Prancis itulah saat di mana David Hume berada di Prancis dan berinteraksi dengan para Jesuit. Dapat diduga bahwa David Hume mendapat gagasan bahwa diri itu tidak ada dan hanya ilusi, paralel dengan Buddhisme, berkat suplai pengetahuan dari para jesuit tersebut.
Kembali ke Montmartre, di sini engkau akan menjumpai paradoks. Nama yang begitu suci dan relijius, situs-situs agama yang juga bersejarah berdampingan dengan gemerlap toko-toko alat bantu seks dan riuhnya hiburan malam. Engkau tentu banyak menjumpai paradoks umat beragama. Misalnya paradoks betapa korupsi meraja-lela di sebuah bangsa yang relijius. Tetapi tidak ada yang lebih paradoks pada umat beragama daripada dalam hal seks.
Agak sulit menemukan teman laki-laki (aku tak tahu tentang teman perempuan) yang tak menyimpan film dewasa walau mereka tahu menonton perzinahan adalah sebuah dukungan terhadap perbuatan tersebut. Anggota DPR dari partai dakwah kedapatan membuka film dewasa bukan hal yang luar biasa, itu adalah potret keseharian. Apalagi ketika masih muda, konsep zina kering dan zina basah adalah teknologi kata-kata yang diciptakan untuk membahas sejauh mana bermain dengan dosa. Tidak heran jika di Amerika, tidak di sini, rata-rata usia remaja melakukan hubungan seks sama saja baik yang dibesarkan di dalam keluarga religius atau sekuler. Prosentase yang melakukan hubungan seks pun sama saja, religiusitas pendidikan tidak berpengaruh kepada angka di kedua belah sisi. Seakan-akan dalam hal seks, aturan tuhan bisa mereka tunda. Menariknya, kepercayaan kepada tuhan pada diri mereka tidak berkurang sedikitpun. Misalnya engkau bisa mendapati bahwa sahabatmu bisa menganggapmu melakukan penistaan terhadap agamanya saat engkau salah ucap mengkritik agamanya, padahal setiap saat engkau melihatnya menistakan tuhannya dalam hal seks. Mungkin seks adalah satu-satunya nature yang tak bisa ditundukkan dengan agama.