Sabtu, 23 Januari 2010

Fiksi

Madfal minggu kemarin mengangkat obrolan tentang Umberto Eco. Dalam kesempatan tersebut aku mencoba menghubungkan keterkaitan antara satu aspek dalam buku darasnya dengan satu aspek dalam novel-novelnya.

Eco dikenal sebagai pakar semiotika, tentu di samping bidang-bidang yang lain. Dalam sebuah kesempatan Eco pernah bilang bahwa semiotika adalah disiplin yang mempelajari apa saja yang bisa digunakan untuk berdusta. Namun beliau menambahkan bahwa apa yang bisa digunakan untuk berdusta juga bisa digunakan untuk menyatakan kebenaran. Kalimat terakhir ini mengingatkanku pada pernyataan Karl Popper bahwa suatu pengetahuan bisa disebut ilmiah jika bisa dinyatakan salah. Tentu kedua pernyataan tersebut tidak paralel-paralel amat. Tapi keduanya menyiratkan satu hal bahwa pengetahuan manusia bersifat fiktif adanya, bahkan pengetahuan saintifik sekalipun tidak bisa lepas dari sifat kefiktifan.

Kefiktifan pengetahuan manusia inilah yang merupakan salah satu aspek yang ditunjukkan Eco dalam novel-novelnya. Dalam The Name of The Rose, sang detektif William mencoba memecahkan kasus pembunuhan berantai di mana setiap terjadi pembunuhan dia mencoba melakukan penyimpulan-penyimpulan. Dia akhir cerita, William mengakui bahwa akhirnya semua penyimpulan tersebut terbukti salah. Sementara itu dalam novel Baudolino sang tokoh adalah seorang pencerita yang nampaknya mencampuradukkan fakta dan fiksi yang dia sendiri lama-lama percaya dengan fiksi yang dibuatnya sendiri. Baudolino telah sukses mewakili kita sebagai manusia-manusia yang menciptakan fiksi.

Dalam kefiktifan tersebut manusia bertukar pengetahuan dan tak bisa melepaskan diri dan harus selalu waspada dengan kedustaan. Apalagi di zaman sekarang di mana media tidak hanya memberi informasi tapi juga melakukan disinformasi. Di luar sana banyak orang yang entah dengan sadar atau tidak sadar mencoba membentuk, mempersuasi dan kadang bahkan memaksakan penafsirannya terhadap realitas. Tentu kita ingat kata Edward Said, Realitas tidak hadir begitu saja tapi dihadirkan.

Namun demikian, kefiktifan pengetahuan manusia adalah sebuah kutukan. Walau berisiko untuk berdusta dan didustai, manusia tidak punya jalan lain dalam mengetahui kecuali harus dengan berfiksi-ria. Kita selamanya tidak pernah bisa mengetahui realitas sejati, pengetahuan kita tentang realitas adalah sebuah fiksi yang, dengan bantuan orang lain, kita ciptakan sebagai representasi realitas. Sampai di sini kita harus mengakui benar adanya jika dikatakan bahwa filsafat belum beranjak lebih jauh dari pemikiran Kant.