Apa yang bisa kita rayakan di Hari Kartini ini? Di tengah perjuangan kesetaraan antara lelaki dengan perempuan, setiap hari kita disuguhi demostrasi arus yang melawan. Dakwah di TV menyiarkan para ustadz yang mewajibkan para istri untuk taat kepada suami, sinema elektronik mencanangkan gerakan istri mencium tangan suami.
Banyak ustadz bilang, arrijalu qawwamuna ’alannisa’ [1], sebagai legitimasi. Mereka mengartikannya dengan lelaki adalah pemimpin perempuan. Apakah memang qawwamun berarti pemimpin? Paling tidak ada orang alim lain yang bilang bahwa kata qawwamun sebenarnya bisa berarti pelindung, pemelihara, penjaga, bahkan pelayan [2].
Kalau kita tilik asbabunnuzul ayat ini, mungkin yang paling sesuai adalah jika qawwamun diartikan dengan pelindung atau pemelihara. Suatu ketika ada seorang perempuan datang kepada Nabi, mengadukan pemukulan yang dilakukan suaminya karena penolakannya untuk berhubungan suami-istri. Nabi menjawab bahwa suaminya layak untuk mendapat pembalasan pukulan. Lalu turunlah ayat ini[3].
Kalau dibaca kelanjutan dari ayat ini, bima fadhalallahu ba’dhahu ’ala ba’dhin, dapat ditafsirkan bahwa semestinyalah lelaki itu melindungi perempuan dengan apa yang Allah lebihkan pada lelaki daripada perempuan, yakni kelebihan kemampuan fisik. Tidak pantas bagi seorang lelaki beradu pukul dengan perempuan, karena hampir pasti dia menang.
Selanjutnya ayat ini berujar, wabima anfaqu biamwalihim, yang mengaitkan peran perlindungan tersebut dengan penafkahan kepada istri oleh suami yang lazim di jaman itu, walau makin berkurang kelaziman tersebut di jaman sekarang.
Singkatnya, ayat ini sebenarnya bukan menegaskan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan tapi mengharuskan perlindungan kepada perempuan berupa perlindungan fisik dan juga perlindungan ekonomi. Jika ruh ayat ini ingin diperjuangkan, memberikan kemerdekaan ekonomi kepada perempuan melalui pembukaan kesempatan bagi mereka untuk berkarya merupakan tindakan yang paling sesuai dengan kehendak tuhan. Bukan dengan meminta mereka taat kepada laki-laki, bukan menguasai mereka dengan ketergantungan ekonomi.
Apakah aku sudah membelamu, Kartini?
[1] QS Anisa’[4]:34
[2] Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Serambi 2004
[3] Tafsir Ibnu Katsir