Gambar diambil dari http://dodysaurus.deviantart.com
Akhirnya perjalanan ini menghantar Bratasena pada perjumpaan dengan Dewa Ruci yang tak lain adalah diri-sejati dari Sang Bratasena sendiri.
Dalam pencapaian kesejatian diri ini tidak ada yang dirasakan olehnya
selain kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
selain kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Judul : Waking Up: A Guide to Spirituality Without Religion
Penulis : Sam Harris
Penerbit : Simon & Schuster, New York
Cetakan : I, September 2014
Tebal : x + 245
ISBN : 978-1-4767-7772-6
Secara umum perasaan sepi adalah sesuatu yang
ingin dihindari dalam
hidup kita. Jika kita amati, banyak kegiatan yang kita lakukan untuk sekedar
membunuh sepi. Namun demikian, terkadang secara sengaja kita memilih untuk
menyendiri dan menyepi untuk intim dengan diri kita sendiri. Bahkan, beberapa di antara kita
secara rutin, walaupun cuma beberapa menit dalam sehari, memasuki keheningan
pikiran melalui meditasi yang secara sistematis menggunakan metode tertentu
untuk menyelami pikiran sendiri. Dari situ kita menyadari bahwa spiritualitas sebenarnya
adalah ujung dari spektrum pilihan yang tersedia bagi kita dalam menggunakan
pikiran.
Walau banyak buku yang membahas
spiritualitas, buku Waking Up karya Sam Harris ini membahas spiritualitas
dengan cara yang berbeda dengan buku spiritualitas manapun. Dikenal sebagai
pengkritik agama sejak menerbitkan buku The
End of Faith pada tahun 2004, Sam Harris adalah seorang yang kritis
terhadap kepercayaan yang tidak bisa dipertahankan secara ilmiah. Namun
demikian, berbeda dengan para pengkritik agama secara umum ia sangat terbuka
dengan spiritualitas.
The End of Faith sendiri
walaupun sangat tajam menunjukkan bahaya dari kepercayaan keagamaan, dalam buku
tersebut Sam Harris juga memberikan apresiasinya terhadap laku spiritual. Sepuluh
tahun sejak The End of Faith, buku Waking Up yang terbit di bulan September
tahun ini adalah upaya Sam Harris untuk menunjukkan bahwa walaupun laku
spiritual umumnya berkelindan dengan praktek keagamaan, spiritualitas
sepenuhnya bersifat sekuler dan bisa dijalani tanpa perlu percaya terhadap
gagasan keagamaan apapun.
Ada banyak cara mendefinisikan
spiritualitas. Sam
Harris memulai dengan upaya manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan. Seseorang memulai kehidupan spiritual ketika
orang tersebut mulai tidak puas dengan kebahagiaan yang diperoleh dari
pemenuhan hasrat yang dirasakan sebagai kebahagiaan yang tidak stabil dan mudah
lenyap. Lalu ia mulai mencari jawaban atas pertanyaan, apakah kita bisa berbahagia
walau apapun yang terjadi? Para mistikus
dari berbagai zaman dan tradisi spiritual berpendapat bahwa pengalaman
kebahagiaan tak bersyarat semacam itu bisa dialami pada saat yang sama ketika
meraka mengalami lenyapnya “Sang Aku” sebagai subyek.
Menurut Sam Harris, spiritualitas
terkait dengan gagasan bahwa apa yang kita sebut sebagai Sang Aku, yang kita
rasakan sebagai subyek yang mengalami segala hal yang terjadi dalam benak kita
berupa pikiran, perasaan dan pengalaman inderawi, adalah sebuah ilusi. Laku
spiritual dengan demikian adalah upaya
memperdalam pemahaman dan pengalaman bahwa diri (self) adalah sebuah ilusi. Dengan demikian pencerahan (enlightment) tidak lain adalah
pengalaman hilangnya diri yang oleh pelaku spiritual selalu diupayakan untuk
dialami kembali dan dengan durasi yang makin panjang.
Di dalam The End of Faith, Sam Harris menduga bahwa perasaan adanya diri sebagai subyek
merupakan hasil representasi otak dari aktifitas representasi itu sendiri,
misalnya aktifitas otak dalam melihat suatu obyek melahirkan subyek yang
melihat. Aktifitas yang terjadi di dalam otak ini bisa dipandang sebagai sebuah
proses dan sebagaimana proses pada umumnya aktifitas tersebut bisa diinterupsi.
Tidak aneh jika seseorang bisa merasakan
hilangnya diri yang biasanya disebut sebagai pengalaman spiritual. Salah satu
sumbangsih dari buku ini adalah keberanian Sam Harris untuk memberikan
penilaian terhadap berbagai tradisi spiritual. Menurut Sam Harris hanya
Buddhisme dan Advaita Vedanta yang secara jelas menyatakan bahwa laku spiritual
adalah upaya membuka tabir ilusi adanya diri melalui pencurahan perhatian pada
momen saat ini.
Dalam pencurahan perhatian pada
momen saat ini tersebut, adalah kesadaran (consciousness)
yang menjadi obyek investigasi. Kesadaran dalam hal ini adalah kondisi di mana
pikiran, emosi, dan perasaan muncul. Namun hingga sekarang dunia ilmiah masih
belum memahami apa itu kesadaran atau bagaimana kesadaran muncul pada makhluk
hidup. Setidaknya kita memiliki dugaan kuat bahwa kesadaran muncul dari
pengoraganisasian diri dari atom-atom yang tak sadar. Namun bagaimana
pengorganisasian itu terjadi merupakan hal yang masih misterius.
Kesadaran juga bersifat
subyektif, paling tidak isi dari kesadaran bersifat subyektif. Jika kita mau
bertukar tempat dengan kelelawar, kemampuan inderawi kelelawar yang mampu
melakukan ekolokasi dengan gelombang suara membuat dunia nampak berbeda dengan
kesadaran kita sebagai manusia. Itu dari sudut pandang pengalaman inderawi
saja, belum termasuk pengalaman emosional dan intelektual yang pastinya juga
berbeda.
Penelitian ilmiah hingga sekarang
hanya dilakukan terhadap isi dari kesadaran saja, sementara penelitian langsung
terhadap kesadaran nampaknya hanya bisa dilakukan oleh kesadaran itu sendiri. Dari
sini spiritualitas yang tidak lain adalah investigasi terhadap kesadaran secara
langsung merupakan hal yang tak ternilai dari upaya untuk memahami sifat dasar
dari pikiran (mind).
Dalam buku ini Sam Harris juga
menyampaikan betapa pengetahuan ilmiah yang kita miliki saat ini belum bisa
bisa mengurai teka-teki terpenting dari hidup kita, yaitu diri/ Sang Aku. Bersama dengan pikiran,
perasaan dan pengalaman inderawi yang muncul di dalam kesadaran, Sang Aku juga
muncul di dalam kesadaran yang kita rasakan sebagai subyek dari apapun yang
muncul di dalam kesadaran. Sam Harris mengamini apa yang dialami oleh para
mistikus bahwa kesadaran kita pada dasarnya tanpa subyek, dengan kata lain Sang
Aku yang muncul di dalam kesadaran hanyalah ilusi.
Sebagaimana ilusi yang lain,
ilusi Sang Aku akan lenyap jika diamati secara ketat dan mendalam. Namun,
berbeda dengan penyelidikan ilmiah yang lain, penyelidikan terhadap lenyapnya
Sang Aku tidak bisa tidak harus kita lakukan sendiri di dalam laboratorium
dunia batin kita sendiri. Menariknya, sebagaimana titik buta (blind spot) dalam penglihatan kita dan
sebagaimana ilusi optik yang biasa kita alami setiap hari, ilusi adanya Sang
Aku juga berada di depan mata tetapi hanya bisa disadari saat pengalaman tersebut
diamati dan diselidiki secara ketat.
Dalam laku spiritual, pengalaman
lenyapnya diri/Sang Aku umumnya diupayakan untuk diraih melalui meditasi.
Melalui meditasi orang mengamati dan menjadi familiar dengan sifat dasar dari
pikiran kita yang gemar berkelana dari satu pikiran ke pikiran yang lain. Penelitian menunjukkan bahwa pikiran yang
berkelana tanpa arah lebih dekat kepada ketidakbahagiaan karena mensimulasikan
masa lalu dan masa depan. Melalui meditasi penempuh jalan spiritual berusaha
hadir pada momen saat ini yang merupakan realitas sebenarnya dari
pengalaman-sadar kita. Hadir pada momen
saat ini membuat kita lebih bahagia kerena dengan demikian kita tidak hidup di
masa lalu yang sudah berlalu dan masa depan yang belum datang.
Untuk para pemula, Sam Harris
menyarankan vipassana sebagai metode
meditasi. Kualitas pikiran yang hendak dicapai melalui vipassana adalah mindfulness
yaitu kondisi pikiran yang jernih dan
hanya memperhatikan apa yang menjadi isi kesadaran tanpa memberikan penilaian,
baik isi kesadaran tersebut menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Terdapat paradoks dalam
spiritualitas. Tujuan dari spiritualitas adalah terbebas dari ilusi diri,
tetapi untuk mencapainya nampaknya seseorang justru harus memperkuat ikatan
dengan momen saat ini. Sam Harris
berusaha mengurai paradoks ini berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang
diperolehnya dalam perjalanan spiritual yang ditempuhnya.
Sebagai seorang meditator vipassana selama bertahun-tahun ia
memperoleh banyak manfaat dari laku spiritual yang dia lakukan, namun demikian pengalaman
hilangnya diri/Sang Aku hanya sekejap dirasakan dan hanya saat meditasi sangat
mendalam. Sam Harris saat itu berpikir bahwa pengalaman itu tidak mungkin
dirasakan dalam momen biasa di luar meditasi. Praktek meditasi yang biasa
dilakukannya saat itu adalah jenis meditasi dualistik di mana sang meditator masih
menggunakan Sang Aku sebagai subyek untuk mengamati kesadaran. Perjumpaan
dengan Papaji murid dari Ramana Maharshi membuka mata Sam Harris terhadap
pendekatan langsung nondualistik di mana ketiadaan diri dirasakan secara
langsung. Papaji bahkan bisa dikatakan tidak mengajarkan meditasi karena
baginya pengalaman ketiadaan diri bisa dialami langsung dan bisa dialami di
luar meditasi.
Pelabuhan berikutnya yang
disinggahi Sam Harris adalah tradisi Dzogchen a la Buddhisme Tibet yang serupa
dengan pendekatan Papaji yang nondualistik. Tradisi Dzogchen biasa disebut sebagai
membalik tujuan menjadi jalan di mana lenyapnya diri yang biasanya menjadi
tujuan meditasi dibalik menjadi jalan meditasi. Dalam Dzogchen, sang guru menunjukkan bagaimana pengalaman
lenyapnya diri dialami dan kemudian sang murid berusaha untuk mengalaminya kembali.
Berbeda dengan pendekatan Papaji-Ramana, pendekatan Dzogchen masih
mempersyaratkan penempuh jalan spiritual untuk bermeditasi mindfullness dualistik sebagai familiarisasi atas sifat dasar
kesadaran dan sebagai persiapan menuju meditasi nondualistik.
Sebagai sebuah buku panduan
spiritual, terdapat bagian dalam buku ini di mana Sam Harris memandu pembaca dalam mengamati apa saja yang
muncul secara bergantian di dalam kesadaran. Pembaca didorong untuk memahami
bahwa pada dasarnya isi dari kesadaran adalah tanpa subyek Sang Aku, bahwa jika diamati secara mendalam kesadaran tidak
terasa seperti Sang Aku. Sam Harris cenderung memilih instruksi spiritual yang sederhana
dan jelas dan tidak segan memberikan kritik kepada tradisi Zen yang seringkali
terasa kabur.
Salah satu instruksi spiritual
yang sederhana dan jelas untuk memperoleh pengalaman ketiadaan diri diperoleh
oleh Sam Harris dari Douglas Harding, seseorang yang memiliki posisi penting
bagi kaum New Age. Prakteknya sederhana, yakni saat melihat sekeliling kita
mencari kepala kita sendiri atau melihat sekeliling dengan membayangkan bahwa
kita tidak memiliki kepala. Sam Harris meminta kita untuk tidak berjuang keras
dalam latihan ini karena pengalaman ketiadaan kepala tidak berada jauh di dalam
kesadaran sehingga memerlukan meditasi yang mendalam tetapi berada di permukaan
kesadaran. Instruksi spiritual yang sederhana dan jelas seperti itu menurut Sam
Harris lebih efektif daripada instruksi yang seringkali kabur dalam beberapa
tradisi spiritual, misalnya dalam tradisi Zen.
Bagian terakhir sebelum penutup
digunakan oleh Sam Harris untuk membahas beberapa isu di seputar spiritualitas.
Misalnya, hubungan antara murid dan guru di mana seringkali terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh para guru spiritual. Satu yang pasti adalah bahwa
walaupun seseorang telah mengalami pencerahan, dia tetap manusia biasa yang
bisa melanggar batasan moral.
Sam Harris juga membahas peran drugs dalam kehidupan spiritual. Salah
satu yang membuat Sam Harris menyadari bahwa kesadaran bisa mengalami hal luar
biasa adalah pengalaman penggunaan Ekstasi (MDMA) pada saat usianya baru enam
belas tahun. Cinta tanpa batas dan tanpa syarat yang dialami saat menggunakan
Ekstasi membuat Sam Harris menyadari bahwa cinta, welas asih dan kebahagiaan
atas kebahagiaan orang lain merupakan sebuah pengalaman yang mungkin untuk
dialami. Namun demikian, penggunaan drugs
oleh Sam Harris dianggap tidak bisa menggantikan laku spiritual karena sifatnya
yang tak terkendali.
Sebagai semacam memoar spiritual
buku ini memperkuat sisi Sam Harris sebagai sosok yang selalu membela penalaran
ilmiah dengan melakukan penyelidikan yang jujur. Sekularisasi atas tradisi
spiritual yang dilakukan Sam Harris di dalam buku ini merupakan sumbangsih yang
penting bagi kita yang menginginkan kedamaian batin tetapi ragu-ragu untuk
menempuh jalan spiritual karena terganggu dengan gagasan metafisis yang umumnya
mengiringi tradisi spiritual.
Di sisi lain walaupun kadang
spiritualitas oleh pelakunya dijadikan pelarian, pada prinsipnya spiritualitas bukan
ditujukan sebagai pelarian dari kenyataan hidup yang dirasa menyesakkan atau dari
upaya untuk membawa dunia menuju keadaan yang lebih baik. Adalah mulia
berikhtiar untuk menciptakan dunia yang lebih baik, namun seringkali
ketidakpuasan dalam proses ikhitiar tersebut membuat kita cukup menderita. Dalam
buku Waking Up ini Sam Harris mencoba
meyakinkan kita bahwa spiritualitas sekuler bisa membantu kita memperbaiki
sikap batin dalam kehidupan pribadi atau sosial. Membaca buku 245 halaman ini membuat kita yakin bahwa kedamaian batin itu ada dan jalan sekuler untuk mencapainya pun tersedia.