Iseng-iseng aku membolak balik sebuah buku yang tergeletak di meja belajarku: Upaya Meningkatkan dan Melindungi Kesehatan Reproduksi TKIW yang diterbitkan oleh Galang Press. Aku skimming saja sampai aku terhenti pada paragraf yang menarik hatiku. Paragraf ini memperingatkan para TKIW tentang fakta bahwa walaupun negara-negara Arab banyak yang mengaku menganut hukum Islam sebenarnya yang menentukan hukum di sana adalah kekuasaan para emir. Buku ini melanjutkan dengan contoh berupa penentuan awal bulan Dzulhijah di Arab Saudi yang bisa berubah-ubah karena kepentingan ekonomi. Perlu diingat bahwa jika lebaran haji (10 Dzulhijah) jatuh pada hari jumat maka Raja harus menggaji pengawainya dua kali lipat karena pada saat itu terjadi Haji Akbar.
Pada titik itu aku teringat sesuatu dan ingatan tersebut membuatku melihat tahun penerbitan buku itu. Kudapati buku ini diterbitkan pada tahun 1999. Hmmmm. Yang sebenarnya kuingat adalah apa yang kubicarakan dengan saksi pernikahanku dari pihak kami mempelai laki-laki sesaat sebelum aku berijab kabul. Saat itu kami membicarakan bagaimana Arab Saudi merevisi penetapan awal bulan Dzulhijah untuk menghindari agar tidak terjadi Haji Akbar tahun itu dan raja tidak perlu membayar pegawainya dua kali lipat. Saati itu adalah tahun 2005, artinya enam tahun sejak diterbitkannya buku tersebut pengambilan keputusan tentang awal bulan di Arab Saudi masih seperti itu. (Aku masih heran, sempat-sempatnya aku membicarakan hal-hal seperti itu di detik-detik ijab kabulku)
Kemudian aku mendapati fakta lain. Adalah Syamsul Anwar dalam http://www.muhammadiyah.or.id/downloads/PENJELASAN_Syamsul_Anwar.pdf menjelaskan bahwa Arab Saudi dalam menetapkan awal bulan qamariyah mendasarkan diri pada terlihatnya hilal setelah ghurub artinya besok adalah awal bulan jika hari ini terlihat hilal setelah matahari terbenam. Sampai di sini tidak ada masalah. Ini hanyalah sebuah aliran dalam sekian banyak aliran dalam tradisi keislaman dalam menetapkan awal bulan. Namun masalahnya, ternyata seringkali kesaksian orang yang melihat hilal yang akhirnya diterima oleh pemerintah Arab Saudi banyak yang meragukan karena secara astronomis kesaksian tersebut diberikan padahal pada saat itu bulan masih di bawah ufuk jadi tidak mungkin terlihat. Dengan sarkastis Syamsul Anwar menyatakan ” Sama halnya dengan orang yang mengaku telah melihat bayi, pada hal sang bayi belum lahir, masih dalam perut ibunya, dan baru akan lahir beberapa jam kemudian”. Yang lebih fatal lagi, dalam penelitian beliau ternyata selama 46 kali ramadhan dari tahun 1961 s/d 2004 telah diterima kesaksian terlihatnya bulan padahal bulan secara astronomis masih di bawah ufuk sebanyak 29 kali atau 63.04%. Suatu jumlah kesalahan yang fantastis.
Saya dalam kesempatan ini memahami adanya komunitas-komunitas di dunia yang mengikuti penetapan Arab Saudi dalam hal penentuan awal bulan qamriyah. Mungkin di kesempatan lain saya akan membahas berbagai aliran dalam penentuan awal bulan.Namun demikian dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa ternyata banyak kesaksian orang yang melihat hilal yang dijadikan dasar penetapan awal bulan qamariyah oleh pemerintah Arab Saudi merupakan kesaksian yang tidak bisa diterima karena tidak mungkin secara astronomis. Ditambah lagi pertimbangan ekonomi dalam penetapan hari raya haji, ketepatan penetapan awal bulan di sana menjadi tidak konsisten dengan keyakinan metode yang mereka anut. Jadi bagi anda yang mengikuti penetapan awal bulan oleh pemerintah Arab Saudi sebaiknya anda mecari dulu second opinion atas penetapan mereka.